43. Friendship Never End

26.4K 2.4K 43
                                    

Ketika memberitahu Mindy tentang keputusanku untuk melanjutkan pendidikan ke Jerman, agar Ibu juga bisa berkonsentrasi melanjutkan proyek penelitiannya yang baru di sana sekaligus mempermudahku mewujudkan cita-citaku, sahabat baikku itu mendadak jadi cengeng.

"Hu hu hu... hu hu hu... " tangisnya sambil mengambil tisu yang entah ke-berapa lembar dari kotak tisu. 

Sebagian besar tisu sudah memenuhi tempat sampah plastik yang biasanya berisi bungkus kosong aneka snack. Sengaja kudekatkan ke tempat tidur, tempat Mindy menumpahkan air matanya.

Aku mengelus-elus punggungnya. "Sudah dong, Min! Jangan menangis melulu! Gue juga stress liat lo menangis gini." Walaupun tak ikut menangis, mataku juga jadi berkaca-kaca. 

"Tapi entar siapa yang jaga gue kalo lo gak ada, Ayariku sayang!" keluh Mindy. Bibirnya cemberut dan matanya mulai bengkak.

"Kan nanti pas lo lulus, gue juga lulus dari sana, bisa balik ke sini lagi. Kita ketemu lagi," bujukku sambil tersenyum. 

Benar, aku sudah berencana akan kembali setelah selesai. Aku yakin Kak Malik juga setuju soal itu.

"Tapi nanti siapa yang mengajari gue pas musim kuis?" tanya Mindy lagi. Bibirnya melengkung turun.

Aku tersenyum tipis. "Yah, kan bisa sambil telpon atau video call."

"Entar siapa yang bantu gue pas skripsi?" tanya Mindy. Ia justru semakin ragu.

Perasaanku mulai kesal. Mindy membutuhkanku sebagai teman atau solusinya menyelesaikan kuliah sih? 

"Onlen, Min. Onlen... Lo main games aja taunya yang bisa onlen sih. Belajar juga bisa onlen kali."

"Terus nanti kalo gue jatuh cinta dan putus lagi, siapa yang meluk-meluk gue? Meluk foto elo? Atau curhat harus onlen juga?" tanya Mindy dengan sengaja memasang wajah sedungu mungkin.

Aku terkekeh. Iya ya... tak mungkin itu terjadi ya. Tak ada yang bisa menggantikan sentuhan manusia dalam interaksi hubungan apapun. Bahkan robot sekalipun.

"Gimana kalo Kak Devira aja yang gantikan gue?" cetusku tiba-tiba.

"ENGGAK!"

"ENGGAK!"

Dua suara menjawab berbarengan. Kak Devira yang sedari tadi diam saja dan sedang asyik membaca beberapa dokumen dari Ibu, nampak tegak lurus menatap Mindy. Mindy juga. Mereka berpandangan bak dua musuh bebuyutan sebelum sama-sama membuang muka.

Tentu saja. Itu tidak mungkin. Aku melupakan satu fakta.

Walaupun tak pernah secara terang-terangan, persaingan Kak Devira dan Mindy sudah kelihatan sejak dulu. Dulu mereka memperebutkan Kak Malik. Untungnya, sebelum telanjur mereka jatuh cinta. cinta mereka berpindah pada Mas Doni. 

Tapi ketika Mas Doni memilih Kak Devira, Mindy mulai sedih lagi. Anehnya, saat Mindy tahu Kak Devira berada dalam pesawat yang sama denganku, ia juga yang memberitahu Mas Doni perasaan Kak Devira yang selama ini tidak dipahami oleh Mas Doni. Lebih tepatnya... Mindy meneriaki Mas Doni. 

"Ya udah deh... Entar aku minta Mas Doni carikan satu stok cowok ganteng buat lo, Min. Pasti banyak di kantor Papa." 

Aku berdiri. Bicara dengan Mindy itu sama saja bicara dengan anak TK, gak bakal menang dan gak akan selesai. 

"Enggak mau! Lo udah kayak Papa gue aja, Ya. Kerjanya ngejodoh-jodohin terus! Cowok anter paket ke rumah aja dikata bagus buat jodoh gue," omel Mindy sambil bersungut-sungut. "Masak kata Papa, kalo cewek demen belanja kek gue, mending pacaran ama tukang paket aja."

My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang