Om Doni tak mempedulikan diriku sekali lagi. Ia melangkah mendekati Kak Malik, menarik bajunya hingga pria itu berdiri lagi dan sekali lagi meninjunya. Kak Malik kembali jatuh dan terduduk.
"OM DONI!" jeritku, sebelum bersimpuh dan memeluk leher Kak Malik. Kuatir Om Doni akan menarik dan memukulnya sekali lagi.
Aku yakin Om Doni takkan berhenti memukul, dan Kak Malik takkan melawan. Om Doni itu atasan sekaligus senior Kak Malik sebagai pengawal. Tentu ia takkan melawannya, meski aku mengizinkannya sekalipun.
"Ayari, sudah... " gumam Kak Malik sambil menyentuh tanganku yang masih memeluk lehernya.
Aku benar-benar tak peduli. Jika ini bisa melindunginya, aku akan tetap melakukannya.
"Sudahlah, masuk sana. Ini urusan saya dengan Mas Doni," lanjut Kak Malik lembut.
Aku menggeleng-geleng. Airmataku mulai mengalir. Hatiku sakit melihat orang-orang yang menjagaku justru berkelahi karena aku.
Bukan salah Kak Malik kalau hari ini aku tak mengikuti aturan. Bukan salah Om Doni juga menjalankan aturan yang dibuat Papa.
Tapi bukankah aku sudah menjelaskan pada Papa? Kenapa sekarang harus Kak Malik yang dihukum? Kalau mereka memang ingin menghukum aku, biar aku saja!
"Yari! Ini urusan kami, kamu masuk ke sana!" perintah Om Doni lagi.
Aku menggeleng-geleng dan berbalik, walaupun posisiku masih melindungi Kak Malik. "Aku yang lari dari Kak Malik. Aku yang bikin dia pulang jam segini. Aku yang salah, Om! Bukan Kak Malik! Jangan pukul dia! Jangan pukul dia!" teriakku sekuat tenaga.
Tubuhku gemetar hebat, air mataku mengalir deras tanpa bisa kuhentikan. Saat itu aku bisa merasakan kehadiran seluruh penghuni di rumah. Bahkan aku melihat Mama keluar dari rumah utama, berlari diikuti Bibik Fatim.
"Yari... " Melihat reaksiku, Om Doni perlahan mendekat. Ragu dan tampak kuatir.
"Bukan Kak Malik yang nyuruh aku bolos. Aku yang bohongi dia! Aku bilang aku yang salah!" sekali lagi aku berteriak. Lebih keras.
Saat itu Om Doni makin dekat, hendak bersimpuh menarikku, menjauhkanku dari Kak Malik, tapi aku tak mau.
Aku takut Kak Malik akan dipukul lagi. Jadi aku berdiri dan dengan sekuat tenaga kudorong Om Doni hingga ia terhuyung-huyung mundur.
Aku ingin memukul Om Doni, biar ia tahu rasanya sakit dipukuli. Melihat gelagapku itu, dua tangan tiba-tiba memelukku dari belakang. Menahan gerakanku yang hendak menendang dan memukul Om Doni.
Aku bisa melihat tatapan mata Om Doni yang tak percaya melihat reaksiku, melihat kemarahanku yang bergelegak. Ia mundur beberapa langkah, menatapku.
"Sudah, Yari! Sudah! Berhenti!" bujuk Kak Malik yang ternyata memelukku dari belakang itu.
"AYARI!" panggilan keras Mama itu mampu membuatku berhenti bergerak.
Pelukan Kak Malik langsung mengendor, tapi ia tak melepaskanku. Mama menatapku, sebelum memandang tajam pada Om Doni.
Apapun isyarat dalam sorot mata tajam itu berhasil membuat Om Doni menyingkir dari hadapan kami. Begitu ia pergi, tangan Kak Malik melepaskan pelukannya.
Aku menatap Mama. Ingin sekali aku bilang, aku lelah menghadapi semua orang yang tak memahamiku. Baru kali ini Kak Malik mau menurutiku, dan kami tak melanggar apapun. Kak Malik tetap di sisiku seharian ini.
Hanya satu kali... Dan ia telah mendapat hukuman seberat ini. Aku bahkan tak bisa melindungi seseorang yang melindungiku dengan jiwanya.
Tapi, percuma bicara pada Mama. Mama pasti menyalahkan Kak Malik. Bukankah ia hanya menunggu Papa untuk memecat Kak Malik?
Kutolehkan kepala melihat Kak Malik yang berdiri di belakangku. Tanpa peduli aku menarik tangannya, meninggalkan Mama dan semua orang yang berdiri memandangi kami.
Ini yang bisa kulakukan saat ini. Dengan memastikan ia ada di sisiku, takkan ada seorangpun yang akan berani menyakitinya. Besok, atau malam ini kalau perlu, aku akan bicara dengan Papa.
Kami naik ke lantai dua, tapi tepat di depan pintu kamarku, Kak Malik menahan langkahnya. Sambil tersenyum tak enak, ia menggeleng.
Ah ya, aturan Papa yang lain, tak boleh ada yang masuk ke kamarku.
Aku melepas tangan Kak Malik dan masuk ke kamarku. Mengambil kotak obat yang tersimpan di bagian bawah nakas. Buru-buru aku membawanya keluar. Aku tak lagi melihat Kak Malik.
Panik, kuedarkan tatapan dan melihat pintu kamar Kak Malik yang masih terbuka sedikit. Oh... Di situ dia rupanya.
Tanpa mengetuk, aku masuk. Kak Malik sedang berdiri depan lemari dengan tangan jaket yang sudah terlepas satu. Tubuhnya membeku saat melihat aku menyerbu masuk.
"Obat... Obati.dulu!"
Saat aku menariknya untuk duduk di tepi tempat tidur, Kak Malik hanya diam saja. Jujur saja, jari-jariku sendiri masih gemetar.
Emosiku masih campur aduk tak karuan. Antara marah, sedih dan kecewa. Kalau ada yang menegur atau melarangku saat ini, aku pasti meledak lagi.
Ketika mendongak menatap Kak Malik, aku ingin menangis lagi. Ada bercak darah di sudut bibirnya, disertai lebam biru dan pipi yang terlihat membengkak.
Semua karena aku.
Kuambil kapas untuk membersihkan lukanya. Tapi tatapannya membuat airmataku mengalir satu persatu. Sambil berusaha menahannya, tanganku tetap bekerja mengobati luka di wajah Kak Malik.
Baru saja kupikir tugasku selesai, mataku justru melihat luka lecet penuh darah di telapak tangan pengawalku itu. Rupanya saat ia terjatuh tadi, tak sengaja tangannya terkena batu-batuan tajam yang ada di teras.
Aku tak tahan melihatnya. Isakku makin kencang. Dengan jari yang makin gemetar, kubersihkan luka di tangan Kak Malik.
Perlahan-lahan, tapi setiap kali mengusap obat di atas luka itu, hatiku seperti disayat. Bahkan hingga membungkusnya dengan perban, mataku sudah kabur akibat airmata yang terus mengalir.
"Maafin Yari, Kak! Ini... " bisikku sembari memegangi telapak tangannya yang kini telah terperban itu. "... ini gara-gara aku. Salahku.. hu hu hu... " keluhku berulang-ulang, terisak.
"Sudah, gak papa. Ini hanya luka kecil, Yari. Kamu istirahatlah. Besok kita bicara lagi ya," kata Kak Malik.
Aku menggeleng. "Jangan keluar, Kak! Jangan ketemu sama Om Doni! Dia pasti mau nyakiti Kakak lagi. Aku gak mau Kak Malik dan Om Doni berkelahi gara-gara aku."
Kak Malik tersenyum tipis. Mengelus bahuku. "Enggak, Yar. Mas Doni tidak akan melakukan apapun. Apalagi kalo kamu sampe begitu tadi. Saya memang salah. Kamu jangan takut."
"Apa nanti Papa juga akan memukul Kak Malik? Apa itu hukuman kalo aku nakal?" tanyaku kuatir.
Gelengan kepala Kak Malik sedikit menenangkan.
"Pak Rahman tak pernah memukul siapapun, Ayari. Papamu adalah orang paling benci kekerasan. Dia tidak akan melakukannya pada saya, atau siapapun."
"Mas Doni tadi hanya bingung dan panik. Kita tak memberitahu posisi kita tadi. Hanya itu. Emosi sebentar. Wajar. Karena dia kuatir keselamatanmu."
Aku menatap Kak Malik, berusaha mempercayai kata-katanya barusan dan sekali lagi ia tersenyum. Kuhela nafasku dalam-dalam.
"Kenapa semua orang begitu repot ngurusin dan jagain aku sih, Kak? Kalo hidupku terlalu berharga, apa hidup kalian semua enggak berharga?" gumamku dengan tatapan kosong.
Kak Malik tak menjawab. Ia hanya menunduk. Lagi-lagi tenggelam dalam kebisuan yang kadang membingungkanku. Akupun berdiri, meninggalkannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
General FictionAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...