2. My Papa

43.3K 4K 23
                                    

"Kebiasaan!!"

Bentakan Papa membuat aku hanya bisa duduk di sofa memandangi lantai, seperti seorang pesakitan.

"Sudah Papa bilang ribuan kali, jangan pernah ninggalin bodyguard-mu begitu aja. Untung Papa kasih back-up, kalo gak ada back-up, Doni pasti benar-benar Papa hajar sekarang!"

Kuangkat kepalaku spontan. "Papaaa!!" 

Sebandel-bandelnya aku mengerjai seluruh pengawalku, aku tak mau mereka terluka apalagi mengalami hal buruk.

Mereka memang melindungiku, dengan resiko seperti itu. Tapi, salah satu alasanku yang lain adalah karena itu. Untuk apa orang lain terluka karena aku?

"Kenapa kemarin ninggalin si Doni?" tanya Papa sambil menghempaskan tubuhnya di kursi tunggal dekat sofa. 

Bibirku maju dua senti. "Aya lihat Om Doni lagi ngobrol sama Mbak-mbak. Ya kan gak enak gangguin. Jadi Aya pulang aja sendiri."

Papa mendengus. "Ngobrol? Kamu gak bisa bedain orang berdebat dengan ngobrol? Alasan saja! Sudah mulai besok Doni akan Papa ganti."

Jeng jeng jeng! Ini yang paling aku benci dari Papa. Begitu ada masalah, ia pasti langsung menyelesaikan dengan caranya sendiri. Papa kadang-kadang terlalu otoriter dalam hal ini. Aku tak pernah satu kalipun dilibatkan saat memilih pengawal.

Aku menyukai Om Doni. Ia salah satu pengawal yang paling pengertian. Om Doni juga tahan menemaniku meski jam kerjanya bertambah lama. Om Doni juga bersedia tersenyum dan berinteraksi dengan teman-temanku yang sumpah... genitnya setengah mati. Sebagai pengawal, bagiku Om Doni sangat sempurna dan sebagai kakak, ia sangat baik hati.

"Doni terlalu baik sama kamu, terlalu nurutin apa maumu. Papa akan cari bodyguard yang bisa ngajarin otak bandelmu itu biar gak suka iseng."

"Papaaa!"

Mata Papa membulat, "Papa akan cari yang tua! Biar kamu gak bisa ngerjain dia sesuka hatimu lagi."

"Paaa, Aya janji gak akan ngerjain Om Doni lagi. Aya janji mau patuh sama om Doni. Aya janji! Papa jangan ganti Om Doni!"

Papa berdiri, menghela nafas sekali lagi. "Doni yang minta dia diganti, Ya. Papa rasa dia yang tidak sanggup menghadapimu."

Aku terdiam. Tak bisa lagi berkata apa-apa. Ternyata sama saja. Om Doni sama seperti yang lain.

Siapa yang akan tahan menghadapi Nona Manja yang egois kayak aku? Pasti itu alasannya. Sama seperti yang lain, ia pergi meninggalkanku.

"Doni sudah Papa pindahtugaskan ke perusahaan. Dia jadi kepala keamanan tim... Ya! Aya!"

Belum lagi Papa selesai bicara, aku memilih berlari masuk ke kamarku sendiri. Buat apa aku mendengarkan Papa lagi? Untuk mendengarkan saja sementara tak ada seorangpun yang mendengarkan keinginanku.

Saat naik ke tangga menuju ke kamarku, aku berpapasan dengan Om Doni yang berdiri bersandar di dinding. Kami bertemu pandang. 

"Ayari, saya... pamit," kata Om Doni dengan senyuman.

BIsa-bisanya ia tersenyum seperti itu. Pasti Om Doni senang sekali bisa meninggalkan tugas menjengkelkan ini, menjaga gadis bandel seperti aku. Ya sudah, pergi saja!

Aku melemparkan tatapan paling dingin yang aku bisa, sebelum melewati Om Doni tanpa berkata apa-apa.

Kubanting pintu sekuat tenaga hingga suara gelegar terdengar seantero rumah. Sudah biasa. Takkan ada yang akan memarahiku.

Aku bergerak menuju peralatan stereo system di kamarku, dan menyetel musik Rock sekencang-kencangnya sebelum menghempaskan tubuh di tempat tidurku, menangis sepuas hatiku.

Biar saja! Biar semua orang tahu aku sangat marah!

***

Tengah malam, saat musik kencang sudah lama berakhir secara otomatis, aku mendengar pintu dibuka. Aku tahu itu pasti Papa.

Tadi pintu kamarku terkunci, tapi Papa selalu punya kunci sendiri yang bisa membuka semua pintu di rumah Utama, termasuk kamarku.

Kaki Papa nyaris tak terdengar. Aku memilih tetap memejamkan mata dan pura-pura tidur. Bisa kurasakan selimut yang diperbaiki Papa untuk menutupi tubuhku. Juga saat ia mengusap rambut dan mencium keningku, sebelum aku merasakan tempat tidurku bergoyang. Papa duduk di tepi tempat tidur.

"Maafin Papa, Aya! Papa sangat kuatir sama kamu. Maafin ya, Nak!" bisik Papa lembut sekali.

Hatiku bergetar. Tapi kutahan agar airmataku tak keluar atau Papa akan tahu aku belum tidur. Untung setelah itu Papa berdiri dan keluar, meninggalkanku sendiri.

Aku membuka mataku dan dua bulir airmata jatuh di pipiku.

Papaku, satu-satunya orang yang kumiliki. Ibu kandungku meninggalkanku saat aku baru lahir, aku tidak tahu apa yang terjadi karena Papa tak pernah cerita.

Pernah aku tanya, Papa menjawab satu kata saja 'Mati!'.

Tapi di lain waktu, Papa bilang 'Pergi!' dan wajahnya tampak marah. Sejak itu aku malas menanyakan perempuan itu.

Papa menikahi perempuan yang kukenal sebagai Mama, dan mereka punya dua anak laki-laki kembar lagi. 

Mama sebenarnya sangat baik, dan kedua adikku yang baru berumur 10 tahun juga lucu-lucu. Tapi hubunganku dan Mama tak sebaik hubungannya dengan Papa.

Mama selalu menjaga jarak denganku. Ia tak pernah melarangku melakukan apapun yang kumau, tapi ia juga tak pernah berusaha dekat denganku.

Hubungan kami sebatas pertanyaan Mama, apa aku sudah makan, sudah belajar, ada yang tidak enak, mau beli apa, dan semua pertanyaan yang juga ditanyakan pengasuhku.

Bahkan seingatku, Mama jarang sekali memeluk atau menciumku. Iya sih, aku hanya anak tiri. Tapi aku lihat di televisi, banyak sekali anak-anak perempuan tiri yang dekat dengan ibu tiri mereka seperti sepasang ibu dan anak kandung.

Hanya Papa. Cuma Papa tempatku bermanja-manja. Papa akan membatalkan rapat penting apapun di perusahaannya jika aku sakit.

Kalau aku minta, Papa juga akan langsung pulang tanpa peduli pekerjaannya. Papa akan terbang melewati benua, hanya agar memastikan aku baik-baik saja seperti hari ini.

Tapi lama kelamaan aku merasa bagai burung dalam sangkar emas. 

Papa menyeleksi semua teman yang boleh dekat denganku. Ia tak segan memindahkan sekolahku, atau memaksa teman pilihanku yang tidak ia suka pindah sekolah.

Aku pindah sekolah semudah ganti baju. Ada yang hanya tiga bulan, bahkan pernah hanya tiga minggu. Papa sangat saklek memilih teman-temanku.

Akhirnya, di SMU, aku benar-benar malas berteman akrab dengan siapapun. Sudahlah, berteman sebatas sapaan dan pinjam PR, itu saja. Toh mereka juga tak benar-benar tulus menyukaiku sebagai teman.

Perusahaan Papa sebenarnya biasa saja. Masih banyak yang lebih besar dari perusahaan Papa. Memang banyak cabangnya, tapi tidak ada yang spesial.

Hanya salah satu cabang usahanya adalah di bidang keamanan. Mungkin itu sebabnya banyak kompetitor perusahaan Papa yang mencoba menyerang sistem keamanan internal keluarga.

Tapi, meski begitu, Mama dan kedua adikku tidak mendapatkan pengawalan seketat aku. Mama masih bebas jalan-jalan ke mal atau ke pasar bersama kedua adikku, dengan menyetir mobilnya sendiri, tanpa pengawalan siapapun.

Hanya Papa dan aku yang selalu pergi dengan pengawal. Bahkan jika menghadiri acara tertentu, aku dikawal pengawal perempuan hingga ke dalam toilet.

Ini yang membuatku heran dan sering bertanya pada Papa. Tapi jawaban Papa hanya satu... 

"Kamu beda."

Dan aku makin tak mengerti. Apa yang membuatku berbeda dengan Mama dan kedua adikku?

*****



My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang