Part 21

14.3K 923 15
                                    

Bawa yang manis-manis nih.😊
Happy reading

****

Langit malam Jogjakarta yang kali ini tak terlihat bintang dan bulan. Hanya dari lampu-lampu jalan dan bangunan yang menerangi malam. Rintik-rintik hujan mulai jatuh menimbulkan suara germicik. Hujan tak menyurutkan langkah kaki Anissa untuk keluar dari kamar hotelnya. Di sepanjang jalan terlihat pedagang kali lima mulai mencari tempat berteduh. Kendaraan bermotor saling bergerak cepat untuk sampai ke tempat tujuan masing-masing. Angin berdesir, payung dipegang Anissa bergoyang karena terpaan angin. Ia mengeratkan jaket yang dipakainya, lalu sedikit berlari untuk sampai ke kafe, tempat dia akan bertemu dengan Adam. Kafe itu hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari tempatnya menginap.

Anissa masuk ke kafe, melipat payungnya. Ia memilih duduk disudut kafe dekat jendela. Anissa memperhatikan sekelilingnya hanya ada beberapa orang, dikarenakan hujan mungkin orang-orang lebih memilih untuk berdiam dirumah. Terlihat didepan meja Anissa, sepasang muda mudi yang sepertinya sedang kasmaran. Anissa melihatnya hanya geleng kepala saja.

Anissa melihat jam tangannya. Ia meminta untuk bertemu dengan Adam setelah shalat Isya. Setelah menunggu sepuluh menit orang yang ditunggu-tunggunya datang.

Adam berjalan menghampirinya. Dia mengenakan kaos polo hitam dan jaket kulit coklat. "Maaf telat. Tadi dijalan ada pohon tumbang jadi harus lewat jalan lain. Sudah lama?" tanya Adam, setelah duduk didepan Anissa. Rambutnya sedikit basah, terkena tetesan hujan.

"Ngga ko." Anissa menampilkan senyumnya.

"Mau bicara apa?" tanya Adam, raut wajahnya terlihat sangat penasaran.

Seorang pelayan datang menghampiri mereka. Adam memesan secangkir espresso dan Anissa coklat hangat. Setelah pelayan itu pergi. Adam menatap mata Anissa.

Anissa merasa bingung memulai pembicaraan dari mana. "Hmm, Mas punya adik berapa?"

"Dua, Talita dan Yusuf." Adam mengerutkan keningnya, heran dengan pertanyaan yang diajukan Anissa. "Memang kenapa?"

"Ngga papa cuma nanya aja. Ibu sehat ?"

"Alhamdulillah, sehat."

"Hmm, Mas?"

Seorang pelayan wanita mengantarkan pesanan mereka. Mata pelayan itu menatap Adam dengan terpesona. Anissa sih tidak heran, secara Adam gantenya ngga ketulungan. Walaupun begitu Anissa mengucapkan terimakasih. Adam didepannya, hanya fokus melihat ponselnya. Sepertinya membuka e-mail terlihat dari screen layarnya.

"Tadi pelayanannya cantik yah mas, ngliatin kamu aja tuh".

"Masa sih?, cantikan juga kamu." Ucap Adam datar masih fokus ke ponselnya. Anissa merona. Adam tidak tahu apa, sedikit kata manis yang keluar dari mulutnya itu, bisa membuat Anissa melted.

"Gombal."

"Saya bicara serius ko. Tadi mau bicara apa?" tanya Adam dengan suara berat lembut setelah meletekan ponselnya dimeja.

"Aku...," ucapan Anissa terhenti, Anissa menundukan wajahnya merasa malu ditatap Adam. Menghebuskan napasnya, kemudian menatap Adam balik.

Bibir Adam tertarik ke atas. "Kenapa? kalau mau senyum, senyum aja yang lepas." Ucap Anissa cemberut lalu meminum coklat hangatnya.

Adam menampilkan deretan giginya yang rapih. Dia merasa tingkah Anissa sangat manis. "Kamu kenapa sih Nis, kalau mau bicara. Bicara aja to the point. Saya tidak akan gigit."ucap Adam dengan intonasi datar. Tangannya mengambil cangkir kopi didepannya lalu, menyereputnya sedikit demi sedikit. Terlihat sekali sangat menikmatinya.

Anissa jadi tidak fokus. Jakunnya itu loh naik turun bikin Anissa tidak kuat. Anissa berdeham untuk menetralkan suaranya. "Soal pembicaraan yang mas lamar aku..., aku mau menerimanya," ucap Anissa. Ada senyum kecil terbit diwajah Adam.

"Thank you". Adam memegang jemari-jemari tangan Anissa. Jari-jari Anissa yang dingin terasa hangat karena genggaman Adam. Anissa salah tingkah dibuatnya.

"Kamu Sabtu, Minggu masih disini atau sudah di Jakarta?" tanya Adam.

"Hmm kayanya udah pulang ke Jakarta deh."

"Berarti saya bisakan, menemui orang tua kamu ke Bandung?"

"Bisa. Hmm.. Mas aku ingin kita ngga langsung nikah. Jalani dulu aja sekarang". Adam mengerutkan keningnya. "Maksud aku, beri waktu kita saling mengenal dulu."

"Nis, saling mengenalkan bisa dilakukan saat kita sudah menikah."

"Ngga mau pokoknya, beri waktu kita saling mengenal dulu. Aku ngga mau kita nikah kaya orang asing."

"Oke oke fine, tiga bulan. Kita akan menikah setelahnya, sekalian persiapan buat persiapan nikahnya juga."

"Eh tapi..."

"Tapi apa lagi?"

"Emangnya udah direstuin sama ibu dan bapak ku", ucap Anissa. Sebenarnya ibu Anissa sih mengikuti keputusan Anissa saja, tapi Anissa belum tahu dengan keputusan Ayahnya bagaimana. Harapan Anissa semoga direstui.

"Iyah makanya sabtu kita kesana yah?"

Anissa menganggukan kepalanya. "Besok kamu ikut peninjauan lokasi juga", tanya Adam.

"Iya pastilah Mas. Aku kan sekretaris. Harus ngikut bos."

"Berarti besok kita ketemu. Nanti makan siang bareng yah dirumah sama ibu."

"Hmm, iya."

"Yasudah yuk pulang sudah malam."

Mereka berjalan keluar. Anissa membuka payungnya lagi.

"Yasudah, sana masuk mobil," ucap Anissa.

"Kamunya?"

"Aku jalan kaki aja Mas, deket ko dari sini. Pengen ngerasain suasana malam Jogja juga"

"Tidak boleh, masuk ayo. Ini sudah malam Anissa. Rawan, seorang perempuan jalan sendirian."

"Ya ampun Mas. Deket ini hanya sepuluh meter dari sini".

"Yaudah kalau kamu tidak mau. Saya ikut jalan kaki", ucap Adam lembut.

"Mobil Mas gimana?"

"Gampang nanti saya kesini lagi."

Hujan hanya tinggal rintikan kecil. Mereka berdua berjalan bersama. Kendaraan yang bersliweran hanya sedikit. Suara seniman jalanan seperti back song perjalanan mereka.

"Tinggal di Jogja enak yah Mas?"

"Hmm.., makanya kamu nikah sama saya biar bisa tinggal disini."

"Kita ngga tinggal di Jakarta aja nantinya Mas. Kerjaan aku gimana?" Anissa melupakan dengan kesepakatan-kesepakatan tersebut.

"Kerjaan kamu. Saya ingin....."

***

Adam & Anissa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang