-Karna rasa kecewa akan kalah dengan rasa simpati-
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _
-Triangle-
Usai dari kantin Wiya tidak langsung kembali ke kelasnya melainkan menuju kelas Afifa. Dia benar-benar penasaran dengan keadaan Afifa sekarang. Bagaimana mungkin kejadian seperti ini bisa menimpa sahabatnya?
Wiya berjalan sendiri di koridor karna Inez pamit untuk ke toilet. Wiya yang biasanya berjalan sambil menunduk jika menemui kerumunan orang, kini justru mengangkat kepalanya tinggi. Seakan sepanjang jalan tidak ada siapapun disana.
Semua itu terjadi karna pikirannya yang sedang kacau, sebagai sahabat tentu Wiya mengerti betapa hancur dan kecewanya perasaan Afifa sekarang.
Wiya sudah sampai di kelas dua belas IPA 1, kelas Afifa. Keadaan kelas itu sepi tak berpenghuni. Kecuali satu orang di sudut kanan kelas sedang membaringkan kepalanya di atas meja.
Wiya berjalan menemui orang tersebut setelah yakin bahwa dia mengenalinya.
"Fa..." Panggil Wiya sambil mengambil duduk di samping Afifa yang sedang berbaring.
Tidak ada pergerakan sama sekali dari orang di sampingnya, yang terlihat hanyalah hembusan napasnya yang teratur. Sepertinya sedang tertidur. Tapi Wiya tidak menyerah, sekali lagi dia berusaha membangunkan Afifa dengan menggerakkan badannya. Setelah percobaan yang entah keberapa kalinya barulah Afifa memberi respon.
Afifa menegakkan tubuhnya dan menatap lurus kedepan seolah tidak menyadari kehadiran Wiya di sampingnya.
Tangan Wiya bergerak mengusap lengan Afifa dengan lembut. "Fa, lo tidur?" Tanya Wiya hati-hati, dia tahu suasana hati Afifa sangat buruk saat ini.
Tidak ada jawaban dari Afifa, dia masih terus menatap lurus kedepan dengan datar. Wiya ikut diam, tidak tau harus berkata apa lagi. Tapi satu hal yang pasti melihat keadaan Afifa saat ini yang nampak buruk cukup membuatnya sedih.
"Kalo lo punya masalah, bisa cerita sama gue." Ucap Wiya kemudian setelah beberapa menit terdiam. Pada kenyataannya diam bukanlah jalan yang tepat untuk saat ini. Dia harus bisa mengembalikkan senyum di wajah manis sahabatnya itu.
"Gue tau apa yang terjadi dan, lo bisa berbagi masalah sama gue, Fa. Kita sahabat kan?" Ujar Wiya, masih berusaha membujuk agar Afifa mau bicara.
Terdengar helaan napas dari Afifa, kemudian tanpa di mintai kembali Afifa memalingkan wajahnya menghadap Wiya. Kini mereka saling berpandangan.
Jika tatapan Wiya penuh rasa simpati dan turut merasakan sakit seperti yang di rasakan Afifa. Afifa justru menampakkan wajah datar sarat akan kesedihan yang jauh lebih mendalam. Tidak bisa melihat kesedihan sahabatnya, Wiya menarik Afifa kedalam pelukannya.
"Please lo jangan kayak gini, Fa." Ucap Wiya berusaha menengkan. Meski tidak melihat langsung, tapi Wiya bisa merasakan jika saat ini Afifa sedang menangis dalam pelukannya.
Wiya masih terus mengusap rambut serta punggung Afifa, setelah merasakan isakan Afifa tidak lagi separah tadi. Barulah dia melepaskan pelukannya.
Di tatapnya Afifa dengam senyum penguat. Benar-benar tidak suka melihat sahabatnya yang setiap hari terlihat ceria kini nampak sangat kacau.
"Gue salah apa sama dia, Wi? Kenapa dia tega sama gue kayak gini?" Ucap Afifa dengan suara serak khas habis menangis. Setelah lama bertarung dengan pikirannya dia akhirnya bicara.
"Gak, Fa. Lo gak salah apapun. Tapi lo juga gak boleh mengklaim kalo Faeyza yang salah. Lo liat sendirikan semalam siapa sebenarnya yang membatalkan pertunangan kalian. Bukan Faeyza tapi cewek yang entah siapa itu." Jelas Wiya panjang lebar. Saat seperti ini bukanlah saat yang tepat untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar antara dia dan Faeyza.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA PILIHAN (COMPLETED)
Teen FictionJudul awal 'TRIANGLE' . Jika kamu disudutkan antara dua pilihan Cinta dan Sahabat manakah yang akan kamu pilih? Terdengar sederhana memang. Tapi, nyatanya tidak semudah bayangan. Ini pilihan yang sulit? Ini seperti kamu dipaksa menyerahkan barang ke...