BAGIAN 21

163 9 2
                                    

-Katanya mengikuti kata hati adalah pilihan terbaik, ternyata aku kliru. Tetap saja dia menghianatiku-

_ _ _ _ _ _ _ _ _

- Triangle-


Katanya satu hal tersulit dalam hidup adalah kehilangan. Tapi menerima kenyataan dan mengikhlaskan adalah bentuk kedewasaan. Ya, katakan saja sekarang Wiya sedang berproses menjadi lebih dewasa ketika dia harus berperang dengan egonya.

Sejak kejadian percakapannya kemarin di rooftop dengan Afifa, dan juga pertemuannya dengan Faeyza di karidor loker sudah meyakinkan Wiya untuk mundur. Dia sudah tidak pernah bertemu lagi dengan Faeyza secara langsung atau sekedar chattingan. Sebut saja dia menghindar, memang itu yang harusnya Wiya lakukan.

Bicara soal Afifa, dia hanya bertemu dengan sahabatnya itu saat pulang sekolah di parkiran. Mereka sudah tidak pernah pulang bersama lagi karna Wiya sudah membawa mobil sendiri atas izin Ayahnya. Setidaknya itu membantunya menjaga jarak dari Afifa. Ke kantinpun rasanya sejak tiga hari terakhir Wiya tidak pernah lagi, lebih memilih meminta tolong kepada Inez untuk membelikannya.

"Sebotol air mineral dan sebungkus roti sesuai pesanan." Inez yang baru kembali dari kantin seperti hari kemarinnya meletakkan pesanan Wiya di atas meja depan gadis itu.

Dengan senyum tipis Wiya meraih botol air meneral dan segera membuka tutupnya untuk kemudian dia teguk. "Terima kasih." Ucapnya di balas anggukan oleh Inez.

"Lo lagi program diet, Wi. Sudah tiga hari loh gak ke kantin dan cuma makan sebungkus roti doang." Inez menatap Wiya dengan dahi berkerut membuat Wiya tersenyum.

"Enggak, cuma lagi malas aja. Lagi nulis." Wiya menunjukkan buku yang di penuhi tulisan ke arah Inez membuat partner bangkunya itu manggut-manggut.

Sudah sampai di situ saja maka Inez tidak akan bertanya lagi. Inez cukup mengerti privasi, dan jika Wiya mengatakan tidak apa-apa maka dia akan menerima jawaban itu meski dirinya sendiri merasa ragu.

Wiya tidak tahu apakah tindakannya ini benar atau justru salah. Tapi, dia tidak bisa berpikir rasional saat kenyataan pedih harus dia terima di sela-sela usahanya membuka diri kepada seseorang.

Dulu dengan Sabir meski merasa bersalah karna tidak bisa membalas perasaan pria itu, dia tetap bisa bersikap biasa saja sampai sekarang. Tapi dengan Faeyza, jangankan bersikap biasa bertemu dan bertatap muka dengannya saja Wiya masih harus menahan gejolak dalam hatinya.

"Wiya."

Sapa seseorang langsung menyadarkannya dari lamunan. Inez yang sedang asyik bermain ponsel di bangkunya langsung berdiri dan memberi duduk kepada Sabir. Tidak ada percakapan yang terjalin bahkan setelah Sabir duduk di sebelahnya. Wiya kembali sibuk pada buku di depannya sampai Sabir akhirnya mulai bicara.

"Wiya, besok weekend jalan yuk."

Wiya menghentikan aktivitas menulisnya dan langsung berbalik menatap Sabir yang tersenyum kearahnya. Sejenak dia mengerutkan dahi sampai Sabir kembali bicara.

"Hitung-hitung nebus rencana kita yang gagal dulu, Wi. Mau kan?" Lagi, Wiya belum menjawab.

Pikirannya menjadi aneh kenapa bukan Sabir saja yang dia sukai. Maka dia tidak perlu repot-repot merasakan sakitnya perasaan yang bertepuk sebelah tangan.

Pada detik berikutnya akhirnya Wiya menyunggingkan senyum membuat Sabir tak tahan menahan rasa senangnya saat Wiya mengangguk.

"Iya."

🔼🔼🔼

Satu hal yang tidak pernah terbanyangkan dalam benak Afifa adalah bisa berduaan dengan Faeyza bahkan sampai makan berdua di kantin. Yang tentu saja mengundang tatapan aneh dari kebanyak siswi termasuk Gisel.

DUA PILIHAN (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang