"Bego dipelihara!"
Alana memicingkan matanya. "Yah mana gue tau kalau jadi gini, lagian gue mana bisa ngarang cerita seperti yang lo bilang!"
"Yah udah jangan ngomong kalau gak tau! Kan jadinya gini, lo sendiri yang nambah masalah hidup lo sendri, malah gue dibawa-bawa lagi," Adnan memutar kedua matanya malas, dan memutar kanop pintu kamarnya.
"Adnan gue gak maksud, gue juga gak nyangka Dirga ngelakuin itu sama lo."
"Berarti lo belum mengenal Dirga sepenuhnya, dan gue rasa hati lo bukan sepenuhnya untuk Dirga,"
Klek.
Adnan yang hendak masuk ke dalam kamarnya dicegat oleh Alana, dengan tatapan horornya yang tertuju pada Adnan yang kini mengernyitkan alisnya.
"Adnan, bantuin gue, ya ya ya," tatapan horor Alana tergantikan dengan tatapan memohon layaknya anak usia 5 tahun yang memohon pada ibunya untuk dibelikan mainan.
"Gak! Itukan masalah lo, bukan gue!"
"Adnan, sekali aja, kita kan baru kenal masa gak mau buat kesan yang baik."
"Gak!" Alana masih berusaha menahan pintu kamar Adnan agar tidak tertutup. Beradu secara tidak langsung dengan Adnan yang ingin menutup pintu kamarnya.
"Yaudah, sekali aja, gue gak tau harus apa, lo satu-satunya harapan gue, mau yah bantuin gue,"
Adnan tak lagi mencoba untuk menutup pintu kamarnya, ia merotasikan kedua matanya malas menatap Alana yang kini sedikit bernafas lega, berharap Adnan menyerah dan mau membantunya.
"Emangnya lo mau gue ngapain? Berantem sama Dirga?"
"Gak lah! Maksud gue lo bantuin gue buat Dirga gak marah-marah gak jelas,"
"Hubungannya sama gue apaan coba!"
"Yah, kan Dirga marah karna tau lo sama gue dijodohin,"
"Yang nyuruh lo tanya pacar lo siapa? Lo kalau bego jangan terlalu cerdas!"
"Dirga bukan pacar gue!"
"Masa bodo!"
"Adnan bantuin, plisss nanti gue beliin lo permen milkita yang banyak deh, ah iya kalau perlu permen lolipop yang banyak, lo bebas mau rasa apa, atau lo mau mainan yang banyak? Bebas lo mau mainan apa, tapi bantuin gue yah," Alana menatap Adnan memelas dengan kedua tangan mengatup di depan dada.
"Lo kata, gue anak kecil apa?" Adnan menghembuskan napasnya. "Ikut gue!" Adnan melangkah diikuti dengan Alana---yang berharap Adnan akan membantunya, walaupun ia sendiri belum tau apa yang harus dilakukan Adnan untuk membantunya---menuju taman belakang rumah Adnan.
Adnan duduk pada kursi panjang berwarna putih diikuti oleh Alana yang duduk di samping Adnan.
"Emang lo sama Dirga, ada hubungan apa? Lo bilang dia bukan pacar lo, terus kenapa saat Dirga tau lo sama gue dijodohin, dia tiba-tiba nyerang gue, kalau gak lagi di sekolah, lo mungkin udah liat Dirga lo itu tepar di brankar rumah sakit." Ujar Adnan menatap lurus ke depan.
Ya, saat Dirga yang tiba-tiba menyerangnya, membuatnya sedikit terkejut, dengan Dirga yang menyebut-nyebut nama Alana, membuatnya hanya menangkis pukulan dari Dirga tanpa membalas memukul Dirga barang sedikitpun.
Bukannya Adnan tak tak tahu caranya berkelahi, malah ia sangat pandai dalam hal itu, bahkan ia sudah beberapa kali memenangkan kejuaran beladiri karate, hingga piala dan mendali sudah menjadi seperti pajangan di kamarnya.
"Tadi katanya masa bodo!" Alana memicingkan matanya.
"Yaudah! Gak usah minta bantuan sama gue!"
"Yah Adnan, jangan gitu dong!" Alana melihat Adnan yanh duduk disampingnya dengan tatapan mautnya.
Adnan menghebuskan napas kasar. "Terus lo mau gue ngapain?"
"Yah... lo bantuin gue, lah!"
"Iya gue tau bantuin lo, tapi lo mau gue ngapain?!"
***
"Lo gila!" Dinda menatap tak percaya pada gadis yang kini menatapnya penuh harap.
"Dinda, mau yah," Alana merengek pada Dinda yang kini duduk berhadapan dengannya, di kamar milik Dinda. Malam ini, Alana menemui Dinda di rumahnya, ia ingin berbagi dengan Dinda, lebih tepatnya meminta bantuan temannya itu untuk menghadapi Dirga.
Tadi, semasa di depan kelasnya saat Dirga mengintimidasinya, beruntung Adnan menyelamatkannya lepas dari Dirga. Dan ia tahu pasti kini Dirga bertambah marah padanya. Pertanyaannya sekarang mengapa ia harus memikirkan kemarahan Dirga? Dirga bukan siapa-siapanya!
"Gak! Lo itu jangan lemah-lemah jadi cewek, Dirga bukan apa-apa lo, dia gak ada hak sama lo, sekalipun lo pacarnya. Gimana Dirga gak semaunya, lo aja gak berani ngelawan, lo ngelawan kek, kalau perlu kalau dia gangguin lo atau marah-marah sama lo, lo langsung aja tampar dia, kalau perlu lo mukul dia, apa lo mau gue ajarin cara buat mukul orang?!"
Dinda mengeluarkan semua apa yang ada dikepalanya, Dinda memang blak-blakan, kadang ia suka berbicara tanpa memikirkan apa yang akan orang lain pikirkan mendengar perkataannya. Mungkin inilah salah-satu alasan yang membuat Dinda hanya memiliki beberapa teman, hanya dapat dihitung jari. Dan Alana sudah kebal dengan ocehan Dinda yang kadang menyakitkan tapi tak jarang memang betul adanya.
"Dirga itu keras kepala, gue udah gak tau lagi harus ngelakuin apa buat dia sadar,"
"Gimana Dirga gak sadar! Lo itu terlalu lemah ngadepin Dirga! Sekali-sekali lo tinju tu matanya biar sekalian gak bisa liat lo lagi, biar gak pusing sana sini kayak orang gila kalau lo dekat sama cowok selain dia, dikira lo boneka apa?! Maunya lo ngelakuin sesuatu sesuai sama kemauannya dia! Hubungan aja gak punya!"
Alana bergidik ngeri mendengar penuturan Dinda yang menurutnya terlalu brutal.
***
Alana dengan masih mengenakan setelan baju tidurnya membuka pintu rumah mewah itu, tentunya dengan kesal dan mata yang masih sangat mengantuk.
Selarut ini, Dirga dengan gilanya datang ke rumah Adnan, entah darimana cowok itu mengetahui alamat rumah Adnan.
Dan tentang Alana yang mengetahui bahwa yang tengah bertamu sekarang adalah Dirga karena cowok itu menelponnya berulang-ulang kali, ia tak mengangkat teleponnya bukan karena itu adalah Dirga tapi karena ia tengah tidur, ia sama sekali tak tahu nomor itu adalah nomor Dirga. Bahkan ia tak pernah memberikan nomornya pada Dirga dan tentunya Dirga tak mungkin mengetahui bahwa ia telah memiliki ponsel pemgganti setelah cowok itu membanting ponselnya.
Alana dengan langkah malas berjalan menuju gerbang rumah yang menjulang tinggi itu, dari kejauhan ia sudah melihat punggung yang sangat ia kenali, tengah membelakanginya.
"Dirga," panggilnya membuat cowok berjaket hitam itu berbalik menatapnya dengan tatapan mengintimidasi, yang Alana pertanyakan disini, ia melakukan kesalahan apa?!
"Sekarang lo ikut gue!" Ujar dingin pada Alana yang berada dibalik pagar, sebagai pemisah diantara keduanya dengan angin malam yang menambah suasana menjadi semakin tegang.
"Gak! Gue gak mau dan gak bisa!" Ujar Alana lugas, yang membuat kesabaran Dirga sedikit terusik.
"Alana! Gue bilang ikut gue ya ikut gue! Sekarang lo keluar!"
"Gak bisa!"
"Kenapa gak bisa?! Gue bilang keluar yah keluar! Jangan nguji kesabaran gue!"
"Dirga! Yang nguji kesabaran lo siapa, hah?! Lo liat sendiri Pagarnya kekunci dan gue gak tau kuncinya dimana! Lagian kalaupun gue tau kuncinya dimana, gue tetap gak bakalan ikutin kemauan lo! Lo siapa hah?! Lo kayak gini gara-gara lo tau kalau Arka suka sama gue, kalau lo punya masalah sama adek lo, gak usah bawa-bawa gue segala! Lo itu udah delapan belas tahun Dirga! Seharusnya lo udah bisa berpikir dewasa bukannya kayak sekarang, sifat lo melebihi sifat kekanakan anak SMP yang baru mengenal cinta! Coba lo pake otak lo buat mikir! Lo itu cuma bisa ngebuat gue sakit hati! Lo terlalu egois jadi manusia!" Ujar Alana dengan suara yang agak meninggi menatap Dirga dengan tatapan menantang.
"Alana! Jangan ngelawan!"
"Terserah gue dong! Lo kalau masih mau berdiri disini berdiri aja selama yang lo mau, gue mau masuk, gue ngantuk! Dan tolong hargai perasaan orang lain, kalau perasaan lo mau dihargai!" Alana berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah, berusaha mati-matian untuk menolak Dirga, ia harus mencobanya, benar kata Dinda ia tidak boleh lemah menghadapi Dirga, jika perlu ia harus selalu bertentangan dengan Dirga.
"Astagafirullah!" Alana terlonjak kaget kala menemukan Adnan saat membuka pintu utama rumah itu.
"Lo ngagetin gue anjay!" Lanjut Alana menatap Adnan kesal.
"Yang diluar Dirga?"
"Hm," Alana tak berniat meladeni Adnan, ia sangat ngantuk, sungguh.
"Ngapain selarut ini kesini?!"
"Orang gila emang gitu! Lo gak pernah liat orang gila kan? Tuh Dirga contoh orang gila yang sesungguhnya!" Adnan mengernyitkan dahinya mendengar penuturan Alana yang terkesan ngelantur.
"Gitu-gitu juga lo suka sama Dirga, Dirga emang cinta sama lo, tapi cara dia nunjukinnya berlebihan, jadi lo sebagai orang yang dicintai sama Dirga, harus sabar ngadepin dia dan dengan perlahan lo bisa sedikit mengubah sifat 'gila' dalam versi yang lo maksud,"
"Ngantuk gue Nan, lo pasti ngantuk juga kan? Jadi sekarang gue mau tidur, bye!"
Ketika hendak menutup pintu, Adnan samar-samar melihat seseorang yang ia yakini adalah Dirga "Alana, tapi itu gue masih liat Dirga,"
Alana menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap Adnan yang masih berada di depan pintu. "Biarin salah sendiri! Dia itu udah gede, nanti juga pulang sendiri kalau capek!"
"Alana, setidaknya lo bilangin ke Dirga buat pulang!"
"Dia gak mau Nan, Dirga mau gue ikut sama dia!"
"Setidaknya lo beri dulu penjelasan sama Dirga, Alana,"
"Dia gak akan ngerti! Lo gak tau apa-apa, gak usah ikut campur, dan soal gue yang minta lo bantuin gue, gak jadi! Lo gak usah bantui gue!"
"ALANA! Setidaknya hargai Dirga yang mencintai lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Ice Boy
Teen Fiction[SELESAI] ▪︎Segera direvisi▪︎ Bagi Dirga, Alana adalah miliknya, dan akan tetap menjadi miliknya apapun yang terjadi, sekalipun itu menyakiti Alana. Bagi Alana, Dirga adalah kelemahannya, sekuat apapun Alana menolak Dirga, maka sekuat itu pula ia ha...