MPIB'38

18.8K 548 14
                                    

KESELURUHAN ISI PART INI 'FLASHBACK'



"Adnan," panggilan itu membuat Adnan berbalik dan indra penglihatannya langsung menangkap sosok Alana yang berlari ke arahnya.



"Adnan, lo bisa gak anterin Dinda ke rumah sakit?" Ujar Alana dengan memegangi lututnya mengatur deru napasnya yang tak teratur.



"Dinda kenapa?"



"Itu, dia lemes banget, gue gak bisa anterin karna dua puluh menit lagi gue ada ujian, dan gue gak ngeliat Regina sama Arka, jadi lo aja yah yang nganterin dia,"



Adnan berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk, sebenarnya ia masih ada mata kuliah, tapi melihat Alana yang sepertinya sangat panik, membuatnya berpikir bahwa Dinda memang benar sedang tidak baik.



Alana pun membawa Adnan dimana Dinda berada. Dan setelahnya, Adnan pun membawa Dinda yang tampak lemas menuju mobilnya.



"Nan, lo gak usah repot-repot," Dinda berujar pelan, saat ia dan Adnan tengah menyusuri jalanan ibu kota.



"Gak, Din, lo gak sekali dua kali aja gini, gue khawatir lo kenapa-kenapa," ujar Adnan tenang, pandangannya masih terfokus pada jalanan di depannya.



"Gak, gue gak pa-pa, lo anter aja gue ke rumah, gue cuma kecapean, gak lebih,"



"Tapi Din---"



"Nan, gue bener-bener gak pa-pa, gue cuma butuh istirahat,"



"Baiklah," dan setelahnya Adnan memutar arah mobilnya menuju rumah gadis yang kini terlihat sangat lemas, ia bingung mengapa Dinda mengatakan bahwa keadaannya baik-baik saja, padahal terlihat jelas bahwa gadis itu sedang tak baik-baik saja.



Hanya keheningan yang terjadi diantara Dinda dan Adnan, hingga keduanya sampai di depan rumah Dinda.



Dengan hati-hati Adnan menurunkan Dinda dari mobilnya dan menuntun cewek itu menuju kamarnya.



Dinda yang bersahabat dengan Alana, membuat Adnan juga menganggap Dinda sebagai sahabatnya.



Kadang pendapatnya yang sepemikiran dengan cewek itu membuat keduanya cepat akrab. Dan ada sebagian tentang Dinda yang diketahui oleh Adnan begitupun dengan Dinda. Seperti Adnan yang mengetahui bahwa Dinda memang lebih banyak tinggal sendiri di rumahnya daripada bersama orang tuanya, yang katanya sangat gila kerja.



Adnan menidurkan gadis itu pada kasurnya. Tangannya ia ulurkan untuk memeriksa suhu tubuh Dinda.



"Astaga, Din! Suhu badan lo panas banget! Gue anter lo ke rumah sakit!"



"Udah gak usah, Adnan, gue cuma mau istirahat. Lo pulang aja. Nanti juga gue sembuh sendiri," ujar Dinda yang memejamkan matanya.



"Tapi, nanti sakit lo tambah parah, Dinda,"



"Gak, nanti juga baikkan sendiri kalau gue udah bangun tidur,"



Adnan-pun menyerah akan pendirian Dinda yang memang tak ingin ke rumah sakit.



Cowok itu awalnya hendak pergi dari sana seperti yang dikatakan Dinda. Namun, niatnya ia urungkan, ia terlalu khawatir melihat keadaan Dinda.



Dan jadilah Adnan mengambil air dingin dengan handuk, dan menempelkannya di dahi Dinda.



Adnan yang memilih untuk menunggu sampai Dinda bangun dari tidurnya pun, membuat Adnan membaringkan badanya pada sofa yang berada di sudut kamar Dinda. Dan tak lama matanya tertutup dan mengarungi alam mimpi.



***




Dinda terbangun dari tidurnya, dan mendapati Adnan yang tengah terlelap.



"Lah, gue kirain ni anak udah pulang," ujar Dinda menyunggingkan senyumnya.



Dinda menyimpan handuk yang menepel di dahinya pada baskon kecil yang terletak pada nakasnya.



Dinda turun dari tempat tidurnya dan menghampiri Adnan yang tengah tertidur.



Dinda berjongkok memperhatikan bagaimana tenangnya wajah Adnan ketika tertidur. Ia suka melihatnya.



"Gimana, gue gak suka sama lo, Nan, kalau sikap lo kayak gini,"



Entah sejak kapan Dinda menyimpan rasa untuk Adnan. Ia tahu ini salah, dan ia sudah mencoba berulang kali menyingkirkan rasa itu. Ia masih memikirkan bahwa Adnan adalah tunangan dari sahabatnya, Alana. Namun, rasanya sudah terlalu jauh, hingga ia tak bisa menyingkirkan rasa itu sekarang.



Dinda memberanikan dirinya menyentuh wajah Adnan, mulai dari mata, hidung, dan turun ke bibir cowok itu.



Cukup lama tangannya terhenti di sana, ia masih memperhatikan bibir itu, bibir yang selalu mencium kening Alana. Dan ia tak bisa memungkiri bahwa ia cemburu karenanya.



Dinda dengan ragu memajukan wajahnya mendekat ke arah Adnan. Pelan tapi pasti hingga ia menempelkan bibirnya pada bibir Adnan, hanya menempel, dengan matanya yang terpejam, dan dengan segera menarik dirinya menjauh setelah merasa ada pergerakan dari Adnan.



"Hm," Adnan mengerjapkan matanya, "Din, lo udah bangun?" Tanyanya dengan suaranya yang serak khas orang bangun tidur.



"Adnan, gue kira lo udah pulang, taunya masih disini," Dinda menjawab seperti tidak terjadi apa-apa, jujur ia gugup terbukti dari tangannya yang saling meremas satu sama lain.



"Dinda, makan yuk, lo pasti laper," ujar Adnan yang kini sudah beranjak untuk duduk.



"Bilang aja lo yang laper!" Ujar Dinda yang membuat Adnan cengengesan.



"Din, lo udah baikkan? Sini coba gue periksa," Adnan berdiri dan mengarahkan tangannya menuju dahi Dinda.



"Bagus udah mendingan, lain kali istirahat yang cukup biar gak lemes!"



"Ihs, udah gak usah alay! Katanya tadi lo mau makan? Lo mau makan apa, nanti gue yang masak, itung-itung sebagai ungkapan terima kasih gue," ujar Dinda yang menyingkirkan tangan Adnan yang menempel pada dahinya.



Mendengar ungkapan Dinda membuat Adnan memundurkan wajahnya melihat Dinda dengan tatapan seperti mengejek cewek itu. "Lo masak? Emang bisa? Mana ada cewek kayak lo bisa masak."



"Oh, lo ngeremehin gue? Gini-gini juga gue tau masak kali! Buktinya sampai sekarang gue masak air gak pernah gosong,"



Adnan menjitak dahi Dinda pelan. "Mana ada air gosong bego! Udah sekarang ayo, gue udah laper banget nih, ini juga gara-gara ngurusin lo yang tiba-tiba demam,"



"Jadi, lo gak ikhlas nolongin gue, gitu?"



Tak ada tanggapan dari Adnan, karna cowok itu sudah lebih dulu turun ke bawah.



Dan disinilah Adnan duduk bersama Dinda dengan makanan di hadapannya, yang hampir habis.



"Enak, ternyata lo bisa masak juga yah," puji Adnan setelah makanannya habis.



"Iyalah, Dinda gitu loh," ujar Dinda membanggakan dirinya. "Enakkan mana sama masakannya Alana?" Lanjut Dinda yang langsung membuat Adnan terdiam.



Adnan tak tahu ingin berkata apa. Entah perasaannya atau apa, akhir-akhir ini ia merasa Dinda sering membanding-bandingkan dirinya dengan Alana.


My Possessive Ice BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang