01

12.1K 421 10
                                    

Kehidupan dengan ekonomi yang menengah keatas menjadikan kita sejahtera. Faktanya, hidup bergelimang harta tak membuat hidupnya tenteram dan bahagia. Terlalu banyak luka yang menghiasi hari-hari suramnya. Dia tak mengeluh ataupun marah ketika menanggung kebencian keluarganya. Sebab yang tak bisa dicerna logika membuat keberadaannya merasa di asingkan.

Seperti saat ini, remaja laki-laki itu tengah bersembunyi seraya menatap ruang makan yang diisi anggota keluarganya. Bukannya malah ikut bergabung dan menikmati sarapan pagi hari, sosok itu hanya memilih bungkam mengamati dalam diam kegiatan keluarganya dari balik dinding dapur. Hal semacam itu menjadi kebiasaannya semenjak tujuh tahun terahir.

"Hallo... iya pak Bandi saya akan kesana. Iya pak," ucap papa tirinya tatkala menerima telfon penting dari klien.

"Kerja lagi, Mas?" tanya Sarah selaku mama kandungnya.

"Iyalah, kamu kira apa?! Sudahlah aku sibuk, nanti kunci pintunya. Aku akan pulang malam lagi," titah Dimas--papa tirinya dengan suara tajam. Semacam itu sering terjadi ketika Galang--kakak kandungnya dan  Sabrina--adik kandungnya pergi.

"Tapi makanannya..." ucapan Sarah menggantung di udara, merasa tak enak hati meneruskan.

"Kau berikan pada anak tak tau diuntung itu. dia lebih membutuhkan," potong Dimas tajam.

Perkataan sang Ayah menohok hati remaja itu. Sosok yang sama yang sedari tadi memilih bungkam dan bersembunyi dari keluarganya.

Hatinya berdenyut sakit tatkala keluarganya kembali menoreh luka tak kasat mata pada hatinya. Entah berapa lama lagi mereka akan menyakitinya dengan kata-kata menusuk menyakitkan itu. Meski mencoba tegar dan baik-baik saja jelas perkataan itu akan membekas di relung hati Aldra. Anak mana yang tidak sakit hati bila mendengar kata-kata menyakitkan itu dari mulut orang tuanya sendiri.

"Aku pergi dulu, Ma, Pa." Aldra berpamitan dengan suara yang lirih dan hanya bisa ia dengar sendiri. Cukup ironis bukan?

Kaki jenjangnya dipaksakan melangkah meninggalkan rumah itu untuk pergi sebentar menenangkan dirinya. Ia memilih pergi lewat pintu belakang yang menjadi jalan keluar bagi dirinya setiap kali keluar rumah agar tak diketahui oleh anggota keluarganya yang lain.

🍃

Malam itu hujan lebat kembali mengguyur kota Jakarta. Sialnya, Aldra harus terjebak di halaman depan rumahnya seorang diri. Tubuhnya bergetar menahan dingin. Baju lengan pendek yang ia kenakan basah kuyup tertimpa hujan. Angin yang berhembus kencang membuat tubuhnya menggigil kedinginan.

Pintu depan dan belakang terkunci ketika ia pulang dalam keadaan yang sudah basah kuyup. Di liriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri nya. Sudah satu jam ia menunggu di sana, berharap seseorang dengan baik hati membukakan pintu.

"Dingin," rancau Aldra.

Giginya gemelatuk kedinginan. Jaket kulit tak mampu melindunginya dari dingin nya hujan malam ini. Tubuhnya hangat, ia pastikan demam besok pagi.

Sembari menunggu seseorang membukakan pintu Aldra menenggelamkan kepala nya di atas kedua lutut yang ditekuk sebab merasa pening yang teramat sangat pada kepala nya.

Ckreekk ...

Suara pintu terbuka. Aldra terkejut namun hanya berlaku beberapa detik sebelum dirinya kembali kecewa. Itu Bibi Larsih--yang terbiasa dipanggil "ibu" oleh Aldra, beliau merupakan pembantu di rumahnya yang sudah berkerja dirumahnya selama Aldra masih kecil sampai saat ini.

"Ayo masuk, Den! Mamanya Den Aldra mungkin sudah tidur nyenyak di dalam jadi gak kedengaran ada orang ketuk pintu," ajak Bi Larsih sembari membantu Aldra berdiri namun ditolak halus oleh Aldra.

Angan Impian [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang