33

1.9K 137 15
                                    

Sekumpulan burung puncak rantai makan yang tinggal satu atap bersama membentuk satu keluarga dengan sifat yang saling bertolak belakang atau malah sama, mereka mungkin akan saling menyakiti namun ketika mereka memisahkan diri yang tersisa hanya kesendirian, kekosongan, dan kehancuran.

_____________________

Sarah masih nampak acuh seperti biasanya. Raut kecewa dan marah masih tergambar jelas. Berulang kali Dimas membujuk Sarah untuk rujuk namun berakhir penolakan yang sama dilanjutkan dengan keributan.

"Kita masih bisa bicarakan ini lagi-"

"Nggak. Enggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Segera tanda tangan ni surat ini dan kita bercerai secepatnya."

Dimas melihat dengan gamang surat perceraian itu. "Aku memang bukan yang terbaik untuk kamu. Sekeras apapun aku mencoba aku selalu gagal. Kesalahan aku memang tidak bisa diperbaiki seperti semula. Bahkan beribu maaf tidak bisa menebus semua kesalahan aku, pun tidak membuat kalian memaafkan aku.

"Tapi Sarah, di antara beribu kesalahan aku aku sangat berterimakasih kepada kamu. Dari sini aku bisa belajar banyak hal dan memberi apa yang tidak bisa aku terima semasa kecilku. Dari kamu aku bisa merasakan berada keluarga sesungguhnya. Walau cuma sebentar tapi aku bersyukur bisa menjadi bagian dari hidup kamu, Sar."

"Kenapa?!" tanya Sarah yang terdengar parau membuat Dimas alun-alun menatap lembut raut wajah istrinya yang kini menahan isak tangis.

"Kenapa kamu jadi gini, Mas?!" Isakan kecil yang keluar dari bibir Sarah semakin menjatuhkan Dimas dalam perasaan bersalah yang teramat sangat.

"JANGAN PURA-PURA BAIK DI DEPAN AKU DAN ANAK-ANAK! KAMU TUH CUMA BISA NYAKITIN AKU DAN ALDRA. KEHADIRAN KAMU HANYA MENUMBUHKAN LUKA BUAT KITA SEMUA. KAMU DAN SEMUA SIKAP KASAR KAMU ITU MEMUAKKAN, DIMAS!" Sarah berteriak marah.

Sarah menghembuskan nafas kasar menetralkan emosi yang menggebu. "Tolong jangan buat aku bingung dengan sikap kamu yang kayak gini!"

"Untuk apa lagi kita bersama?" Sarah menurunkan nada bicaranya. Tatap sayu nya mengarah pada Dimas yang senantiasa menatapnya dalam. "Akhiri ini, Dimas. Kita hanya akan menjadi sepasang luka yang saling menyakiti."

"Bukan untuk kita saja, Anak-anak juga terluka dengan ini."

"Mari bercerai, Sarah." Bersamaan dengan kata yang diucapkan ada hati yang turut retak. Ada kehancuran di setiap katanya. Dimas mengalah. Ia payah dalam mempertahankan rumah tangganya.

"Ini semua kesalahan aku-" ucapan Dimas terpotong.

"Kesalahan kita." Baik Sarah maupun Dimas terkejut ketika melihat Galang sudah berdiri dihadapannya masih dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya.

"Seandainya kita tidak egois. Seandainya kita tidak mementingkan ego masing-masing. Salah kita yang terlalu larut dengan luka masing-masing hingga kita melampiaskan semuanya ke Aldra karena satu-satunya orang yang tidak pernah menunjukkan kesedihannya dihadapan kita. Dia juga sama hancurnya, Ma, Pa. Bahkan mungkin lebih hancur karena ulah kita."

Sebagai seorang ibu Sarah dapat melihat luka di kilatan mata itu ketika menatapnya. Retakan yang tak terhitung banyaknya itu menusuk relung batin Sarah. Tanpa Sarah sadari mereka sama-sama terluka mereka sama-sama mencari jalan menyembuhkan meski tanpa sadar harus saling menyakiti.

"Aldra selama ini diam karena dia tahu kalau bukan dia saja yang terluka. Dia tidak ingin menambahkan luka dengan menceritakan kesakitan dia. Dia juga sama terpukulnya, pa, ma. Dunianya hancur berkali-kali. Saat ini dia cuma punya kita sebagai rumahnya."

"Sebelum kalian mau cerai aku cuma mau ngasih ini." Galang menyodorkan rekam medis serta beberapa sampel obat Aldra kepada mereka. Baik Sarah maupun Dimas sama-sama terkejut dan menatap tak percaya lembaran itu dengan tangan gemetar.

Angan Impian [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang