36

1.7K 134 28
                                    

Jejak kesalahan yang telah kamu lakukan akan menjadi ladang penyesalan yang paling menyakitkan untuk diingat.

_____________________

"Pemeriksaan kesehatan dulu ya, Mas." Aldra tersenyum singkat membalas ajakan suster yang bertugas menemani prosedur HD-nya kali ini.

Aldra membuntuti suster itu untuk melakukan serangkaian pemeriksaan fisik seperti tekanan darah, suhu tubuh, dan berat badan. Setelah itu, Aldra digiring menuju ruang hemodealisis untuk proses cuci darah lebih lanjut. Aldra mulai berbaring nyaman di salah satu bankar yang ada di sana.

"Dengan saudara Aldraniaz, benar?"

"Iya."

"Saya suster Mika yang menemani proses cuci darah kamu. Kita mulai sekarang?" Aldra mengangguk sopan.

Prosedur cuci darah dimulai dengan membersihkan cimino terlebih dahulu. Cimino merupakan akses pembuluh darah yang terpasang di lengan kiri Aldra. Nantinya cimino itu akan dipasangi dua jarum yang terhubung dengan selang cuci darah. Satu jarum untuk mengalirkan darah ke mesin cuci darah, sedangkan satu jarum lainnya untuk mengalirkan darah dari mesin cuci darah ke dalam tubuh.

"Jika ada keluhan selama proses bisa panggil saya lewat tombol merah di samping bed kamu. Saya permisi dulu."

"Baik, terimakasih suster." Kepergian suster Mika bertepatan dengan Sarah yang baru memasuki ruang HD. Keduanya berpapasan dan menyempatkan menyapa sebelum Sarah menghampiri putranya.

"Maaf Mama lama banget tadi."

Aldra termenung menatap wajah ibunya yang kemerah-merahan. Hingga pandangan Aldra terpaku pada mata ibunya yang sedikit membengkak.

"Huft... Toiletnya antri banget padahal masih pagi." Aldra hanya tersenyum simpul. Dari tadi Sarah sibuk mengalihkan pandangannya agar tak bersitatap dengan Aldra dan Aldra sadar akan hal itu.

"Mama..."

"Hmm... kenapa sayang?" Sarah menatap putranya sekilas sebelum kembali menyibukkan diri dengan membenahi posisi selimut Aldra. Aldra mengumpulkan kedua tangan ibunya kedalam genggamannya; menghentikan Sarah dari pengalihannya.

"Aldra gak papa, Ma." Mama masih menunduk tanpa ada keberanian menatap sorot sayu putranya. Terasa sesak ketika melihat netra jernih dan wajah pucat putranya.

"Mama nggak perlu khawatir, putra mama ini kuat. Aldra beneran gak papa, Ma." Sarah semakin menunduk dalam dengan isakan yang lolos dari bibirnya.

Sorot sayu milik Aldra semakin sendu. Aldra menggigit bibir bawahnya. Tangisan pilu milik ibunya membuat hatinya turut sesak.

Bukankah seorang anak dilahirkan dengan membawa kebahagian bagi orang tuanya, namun ketika melihat keduanya menangisi nya itu akan menghancurkan hatinya sebagai seorang anak.

"Jangan sedih, Ma! Aldra minta maaf. Aldra udah bikin mama sedih."

Sarah menggeleng menatap putranya. Kuasanya membelai rambut putranya yang lebat. Sarah mengambil nafas untuk meredakan tangisnya yang tak terkontrol. Ia tatap lamat-lamat wajah putranya. Wajah yang mengingatkannya pada mendiang suaminya sewaktu muda. Wajah polos yang senantiasa tersenyum kearahnya walaupun ia kerap menyakiti hati anak itu.

"Sakit ya, nak?" Aldra bergeming. "Sakitnya selama ini abang pendam sendiri. Pasti lebih sakit lagi kan, bang?"

"Maaf untuk segala rasa sakit yang abang harus terima, selama ini pasti berat ya, nak?" Sarah berhenti sejenak mengendalikan nafasnya yang mulai tak beraturan menahan sesak hatinya.

Angan Impian [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang