19

2K 118 8
                                    

Kalian adalah kedua insan yang saling menyembuhkan luka dengan cara menyakiti. Kita punya luka masing-masing setelah kepergian Papa dan gak mungkin Aldra mau menambahkan luka lagi di hati kalian. —Aldraniaz

______________________

Aldra membuka pintu rumah dengan tergesa. Setelah mengedarkan pandangannya ke penjuru Aldra terpaku pada tubuh Sarah yang meluruh di lantai disertai isakan-isakan memilukan. Sementara Dimas sudah menghilang entah kemana perginya. Sarah tetap menundukkan kepalanya dalam tanpa berani melihat wajah sangat putra. Aldra semakin mengikis jarak di antara keduanya, kuasanya ia gunakan untuk mendekap tubuh Sarah yang bergetar menahan tangis.

Aldra pikir Sarah akan menepis tangannya atau mendorong tubuhnya namun sudah sudah semenit berlalu dan Sarah masih betah dipelukkannya. Aldra tersentak ketika tangan Sarah membalas pelukan miliknya seraya menepuk lembut punggungnya. "Bagaimana kamu menahannya selama ini, nak?"

Aldra tak memperdulikan bahunya yang menjadi basah karena tangis Sarah namun panggilan Sarah untuknya membuat hatinya menghangat. Ia bahkan sudah lupa sejak kapan Sarah memanggilnya 'nak' iapun telah lupa rasa dari peluk seorang ibu seperti apa namun hari ini ia mendapatkan semua. Seperti mimpi yang selama ini ia damba di setiap malam. Untuk pertama kalinya matanya berkaca di hadapan mamanya. Bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan mama ia justru menenggelamkan kepalanya di caruk leher sang Mama.

Lama mereka bertahan di posisi itu hingga Sarah mengurai peluk menatap lamat wajah putranya yang ia nistakan. Mata jernih milik putranya itu memerah menahan tangis.

"Sejak kapan kamu tahu?" tanya Sarah langsung pada intinya dengan mata yang menatap lamat putranya. "Jawab dengan jujur, Aldra, Mama gak mau mengulang kesalahan yang sama dengan membenci orang yang salah."

Raut bingung anaknya itu masih tertera membuatnya harus menghela nafas. "Tentang 'pria itu'."

Wajah Aldra kembali sayu mengingat kejadian lalu. Hatinya kian menyesak tatkala harus menceritakannya kembali. Mata sendunya menatap Mama dengan pandangan menguatkan. "Hari itu tepat satu tahun Papa ninggalin kita. Aldra pulang sendiri karena abang lagi main sepak bola sama anak-anak komplek.

Aldra denger percakapan om Dimas sama seseorang di telepon waktu itu. Karena sepi, Aldra bisa denger jelas. Dalam telepon itu om Dimas bilang yang sebenarnya tentang alasannya menikahi Mama dan niat buruknya untuk keluarga kita."

L

"Gue gak peduli, Rel. Bagaimanapun dia yang buat sahabat gue meninggal. Sekarang dia punya gangguan mental. Bukannya itu lebih bagus? Dia menderita dengan ulahnya sendiri. Gue akan bikin mereka hancur, gue akan bikin mereka rasain apa yang gue rasain selama ini."

"...."

"Gue gak peduli! Dia bikin sahabat yang udah gue anggap saudara gue sendiri menderita. Ini ganti ruginya. "

"Dan hal itu juga yang bikin pria busuk itu kasar ke kamu?" Tanpa harus menjawabnya pun Sarah sudah tentu tahu. Alasan Dimas bersikap kasar pada putranya karena tak ingin putranya membocorkan rahasianya bukan semata-mata karena putranya itu mengingatkan Dimas akan sahabat lamanya yang telah lama berpulang.

"Kenapa tetap diam kalau disalahkan dan dihukum demi kesalahan yang gak kamu perbuat? KENAPA?!" Aldra terkejut.

"Kenapa tidak membalas dan membela diri?" Sarah meluap. "Sakit kan disalahkan dan dipukul demi kesalahan yang bahkan bukan salah kamu."

Angan Impian [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang