26

1.8K 116 21
                                    

Kepada jarum jam yang lelah menghadirkan waktu. Mereka berakhir hanya menciptakan kekosongan baru. Baru saja badai berlalu kini kembali di terkam sembilu.

________________________

*Pict Aldra kebangun dini hari buat tahajud bareng Abang.

Hukuman dari Sabrina itu masih berlaku sampai seminggu ke depan. Penambahan jangka waktu yang mendadak tentu sempat membuat Galang dan Aldra tidak terima. Sampai mereka mendapat titah langsung dari Sarah yang mengharuskan mereka tidur bersama demi ketentraman dan kenyamanan seisi rumah. Pasalnya adiknya itu menangis meraung serta merengek terus-menerus menganggu seisi rumah. Akhirnya baik Galang maupun Aldra terpaksa harus menerima hukuman itu dengan lapang dada.

Namun disaat-saat seperti inilah Aldra panik menutupi penyakitnya yang terkadang kambuh walau kini intensitasnya tak terlalu sering. Meski begitu tetap saja Aldra harus bersembunyi sebaik mungkin agar tak ada seorang pun mencurigainya. Seperti pukul 2 dini hari ini Aldra terbangun lantaran ia kembali merasakan sakit yang teramat sangat pada pinggangnya. Setelah Aldra ingat ingat rupanya ia melupakan jadwal minum obatnya malam hari. Dengan meminimalisir pergerakannya Aldra meminum obatnya agar tak seseorang pun di antara mereka terbangun.

Tepat ketika Aldra baru saja selesai meminum obatnya Galang sudah menggeliat terbangun. Memang sudah menjadi kebiasaan laki-laki yang lahir di bulan Agustus itu terbangun jam dua dini hari untuk melaksanakan ibadah shalat sunah. Matanya memicing kearah Aldra yang masih menata nafasnya yang berantakan.

"Mimpi buruk lo?" tanya Galang dengan suara serak bangun tidurnya. Aldra mengangguk menghemat energi untuk berbicara panjang lebar. Tidak mungkin juga Aldra membeberkan alasan sebenarnya kepada Galang.

"Skip baca doa tidur, sih," omel Galang sembari mengecek jam di ponselnya.

"Hehe lupa," cengir Aldra menutupi rasa sakitnya.

"Mau tahajud sekalian nggak? Biar enak tidur lo?" saran dari Galang yang  tumbenan direspon baik oleh Aldra

"Boleh, deh. Lo jadi imam tapi."

"Iyaa."

"Berangkat pak ustadz," seru Aldra beranjak dari tempat tidur untuk mengambil wudhu. Galang berdecak sebentar sebelum menyusul Aldra ke kamar mandi.

Mereka pun melaksanakan ibadah bersama dengan Galang yang menjadi imam. Di tengah kesunyian malam itu ada untaian doa memanjang yang terlontar dengan membawa harap kepada Sang Pencipta. Mereka sama-sama menumpahkan segala letih, resah, dan segalanya dalam sujud terakhir dalam sholat. Seusai mereka melakukan sholat tahajjud bersama keduanya tidak langsung menyambung kembali tidurnya. Dengan masih mengenakan sarung dan peci yang melekat keduanya menuju balkon kamar Aldra yang berhadapan langsung dengan jalanan.

"Kenapa ngintilin gue?" tanya Galang dengan nada galak.

Gerakan menutup pintu balkon Aldra terhenti. Matanya molotot tidak terima. "Heh, lo yang ikutin gue ya tadi."

"Lagian lo kenapa gak lanjut tidur aja sih?"

"Besok hari minggu kalau lo lupa, lagian terserah gue dong mau tidur apa nggak kok lo ngatur?"

"Lo pengen gue gebuk?!" Aldra terlihat acuh mendudukkan diri di samping Galang. Seraya bersandar netra nya mengamati langit pagi yang masih tampak gelap.

Seminggu ini merupakan hari-hari yang paling indah menurut Aldra dimana ia bisa menghabiskan waktu bersama orang-orang yang Aldra sayangi. Hubungannya dengan sang Ibu perlahan membaik dan Aldra bisa bernafas lega ketika Dimas tidak lagi memukulinya ketika ia pulang larut malam karena berkerja sampingan. Aldra seolah menjadi manusia paling bahagia dimuka bumi selama seminggu ini. Aldra menghirup udara dini hari dalam-dalam lalu menghembuskan nya perlahan.

Angan Impian [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang