Pagi ini terasa lebih hangat dari pada biasanya. Hangatnya sinar matahari itu menerobos masuk melalui celah-celah dinding kaca yang telah lama membeku. Perlahan-lahan mereka mulai menata kembali kehidupan mereka yang baru. Kali ini kediaman Bramanto itu terasa lebih hidup dengan tawa canda anak-anak nya yang saling menggoda satu sama lain. Awan-awan mendung yang semula memayungi kediaman itu perlahan seolah memudar.
Namun masih terlalu pagi bagi Galang ketika Aldra bersemangat menggeber motor barunya di hari minggu. Kebisingannya bertambah buruk ketika suara adiknya berteriak girang menyerukan sountrack dari serial kartun asal negri jiran. Sialnya lagi di pagi hari itu Mama harus memasak dengan suara nyaring yang semakin menganggu ketentraman Galang yang masih bergulung dengan selimut tebalnya. Galang sudah menutupi kedua telinga dengan tumpukan bantal namun gagal, suara bising diluar sana masih mendominasi pendengarannya.
"Allahuakbar, demi Allah ini rumah atau pasar ikan sih?" Dengan Frustasi Galang membuka matanya dan mengomel di pagi hari cerah ini.
"UPIN DAN IPIN SELAMAAANYAAAAAA~"
Rasanya Galang ingin pindah rumah ke Bojong Gede saja jika setiap pagi harus disuguhkan pertunjukan seperti ini. Dengan sangat kesal Galang menendang selimutnya sendiri dan berderap keluar kamar untuk memastikan sekacau apa di bawah sana. Baru saja ia membuka pintu kamar ketika sebuah bantal melayang mengenai muka bantalnya. Lagi-lagi Galang harus mengelus dada bersabar ketika disodorkan manusia menyebalkan yang muncul di hadapannya dengan cengiran tanpa dosa.
"Maap bang itu niatnya ngelempar ke adek sumpah bukan ke elu." Aldra sudah mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara seraya menatap Galang yang masih menahan kesal di tempatnya dengan muka tertekuk.
"Aldra anj—"
"BANG GALANG BANTUIN MAMA, NAK!"
Belum sempat Galang menuntaskan umpatannya untuk Aldra saat Mama meneriakinya dari arah dapur. Galang menahan kesal teramat sangat saat Aldra memberinya senyum cerah seolah mengejeknya. Tangan Galang mendorong bahu Aldra sarkas sembari menuju ke dapur tempat dimana Mamanya berada.
"Ini masih pagi lho, Ma. Ributnya udah kayak pasar Tanah Abang aja," Keluh Galang sembari mendudukkan diri di samping Sarah yang sedang mengulek sambal. "Abang kan mau bobo seharian. Kepala abang tambah pusing kalau gini."
"Kapan-kapan lagi rumah bisa seramai ini 'kan, bang?"
Galang setuju dengan Sarah. Semenjak kejadian itu tidak ada lagi kehangatan seperti ini di pagi hari. Bahkan Galang hampir lupa kapan terakhir kali ia bisa merasakan keceriaan yang menghidupkan rumah seperti ini. Bertahun-tahun sudah rumah ini dipeluk kehampaan.
"Abang pusing?" Dimas menyahut di belakang Galang yang sedang memotong sayur-sayuran.
"Loh... Kamu sakit, Bang? Sarah mematikan kompornya kemudian tangannya ia basuh dahulu sebelum memegang dahi putra sulungnya.
"Anget gini. Kamu demam ya bang?"
"Iya kayaknya."
"Ya ampun berulang kali mama bilang kalau belajar tuh jangan diforsir jadinya gini kan?"
"Bukan gara-gara kebanyakan belajar deh kayaknya, Ma." Dimas menimpali. "Kemarin Papa lihat kamu pulang hujan-hujanan."
"Hehe ... aku balik nerobos hujan kemarin."
"Kenapa gak tunggu hujan reda dulu sih, bang?"
"Gak keburu, Ma."
"Ck! Anak mu tuh!" Sarah menggeleng pelan.
"Kamu istirahat aja sana bareng Sabrina biar gantian bang Aldranya aja kemari buat bantuin Mama."
"Iya, Ma."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angan Impian [Revisi]
Teen Fiction"𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘦𝘴𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯?" "𝘈𝘳𝘢, 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵 𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘰𝘮𝘣𝘪𝘯𝘢𝘴𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘱𝘪𝘴𝘢𝘩𝘢𝘯. 𝘋𝘪𝘮𝘢𝘯...