34

2K 142 46
                                    

"𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘱𝘢, 𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘤𝘰𝘣𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘢𝘮𝘢𝘪 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘥𝘢𝘪."

___________________________

Dimas menyadari perubahan sikap Aldra yang menahan kesal setengah mati kepadanya. Kalau dilihat dari tangan yang terkepal di balik paha, urat lehernya yang mengeras, serta air muka yang merah padam. Dimas tahu anak itu sedang mencoba mengendalikan diri dan pengendalian diri Aldra tidak perlu diragukan lagi saat menghadapi nya. Anak itu masih bungkam meski raut wajahnya menyiratkan banyak pertanyaan yang tak tertanyakan.

"Yakin gak mau tanya apa-apa lagi?"

Maka dengan amarah yang berusaha Aldra tahan ia bertanya, "Jadi, Om sudah tahu sampai mana?"

Dimas tersenyum miris. Panggilan itu akhirnya berganti. "Semua."

Tatapan teduh Dimas mengarah pada netra kelam sang putra. Menatap lembut sebelum membuka mulutnya melanjutkan. "Saya tahu semuanya. Kamu dan rahasia kamu."

"Kamu tadi ke ruangan om Farel mau check up atau mau cuci darah?"

Aldra menegang di tempatnya. Sial. Dimas benar-benar sudah mengetahui rahasianya.

"Tidak mau tanyakan lagi saya bisa tahu dari mana?"

Aldra masih senantiasa bungkam sembari memandang lurus taman di depannya. Diamnya Aldra Dimas anggap sebagai sebuah jawaban.

"Saya mengikuti kamu seminggu yang lalu."

"Om ngikutin aku?"

Dimas mengangguk. Ingatannya berkelana pada hari itu ketika ia dan penasarannya berhasil menemukan jawabannya.

"Awalnya saya penasaran dengan kamu yang selalu pulang terlalu larut hingga dini hari itu saya menemukan kamu pulang dengan masih mengenakan seragam sekolah. Dari situ esoknya saya membuntuti kamu dari pulang sekolah. Hingga saya mendapati kamu berkerja di sebuah bengkel kecil pinggir jalan. Tak sampai disitu, selepas saya pulang berkerja saya masih menemukan kamu mengendap-endap keluar rumah dengan menenteng seragam kerja kamu. Lalu saya menemukan fakta baru kalau kamu juga berkerja disini.

"Jujur saya merasa hancur saat itu, Al. Saya semakin gagal menjadi orang tua sambung sekaligus kepala keluarga bagi kalian. Saya kira cukup sampai itu, namun saya salah. Tuhan menghukum saya dengan menimpakan penyesalan dan rasa bersalah yang bertubi. Saya menemukan kamu pulang dengan bus sehari terakhir. Ternyata kamu sudah menjual motor kamu juga?

"Kenapa Aldra? Uang dari saya tidak cukup? Saya masih mampu membayar pengobatan kamu sampai sembuh."

Aldra menunduk. Ia menggeleng samar. Ia sendiri tidak tahu harus menjawabnya seperti apa. Jelas bukan karena itu.

"Atau yang diucapkan Om Farel itu ternyata benar. Kamu sudah terlanjur kecewa dengan kami hingga menutupi semuanya seperti ini?"

"Jawab Aldraniaz!" Melihat Aldra yang masih bungkam Dimas mendesak Aldra agar menyuarakan suara nya. Suara yang selama ini selalu diabaikan oleh mereka. Suara yang selama ini sudah terkubur dalam kini di biarkan bebas untuk di suarakan. Diamnya Dimas seolah memberi panggung bagi Aldra untuk menyuarakan isi hatinya.

Sejujurnya, Aldra sendiri masih kagok untuk berbicara seleluasa ini. Jika biasanya ia dipaksa menelan bukat-bulat seluruh keresahannya seorang diri kini Dimas memberinya panggung dan afeksi untuknya bersuara.

"Iya." Tegas Aldra menatap kedua netra putus asa Dimas. "Saya kecewa dengan kalian. Kalian ada dimana saat saya meminta kedatangan kalian kerumah sakit waktu itu? Kalian memilih abai bukan?"

Angan Impian [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang