Berusaha tampak baik-baik saja meski kondisi hati tengah ambyar itu tak mudah, percayalah.
~AI______________________________
"Yaz, lo kenapa?" Hati kecilnya menyerukan apa yang sebenarnya ingin ia katakan namun gengsinya terlalu besar untuk berterus terang.
Yang diucapkan Galang malah sebaliknya, "Sekalian aja lo mati biar keluarga ini bisa bahagia tanpa keberadaan sampah seperti elo."
Tubuhnya bangkit tertatih memasuki rumah. Pikirannya tak jernih jadi ia memutuskan untuk pergi sebentar daripada berhadapan dengan Aldra yang membuat hatinya melemah lagi.
Sementara Aldra dibiarkan saja terkapar dengan luka-luka yang belum terobati. Aldra memutuskan bangkit dan menuju ke kamar adiknya. Ia merasa bersalah telah membuat Sabrina menunggu lama. Langkahnya tertatih memasuki rumah.
Hanya terdapat bik Larsih yang sedang memasak di dapur. Rumah besar itu terasa hampa dan sunyi. Kehangatan yang dulu pernah hinggap di rumah ini tiba-tiba berubah menjadi kepalsuan yang memuakkan.
Sampai kapan semua kepura-puraan ini berahir?
Aldra lelah. Ia melenggang menemui Sabrina seusai menyalimi bik Larsih. Meskipun ditegur berkali-kali lantaran memar dan bercak noda darah itu masih menempel di beberapa bagian tubuh Aldra, Aldra hanya menjawab seadanya dan menolak halus segala tawaran bik Larsih untuk mengobatinya.
"Brie? Bang Aldra mau masuk," izin Aldra sebelum Sabrina membukakan pintu untuknya.
Aldra tersenyum hangat pada adik semata wayangnya. Aldra menjadikan Sabrina sebagai tempat pulang dari rasa sakitnya. Meskipun gadis kecil itu tak bisa berbuat apa-apa untuk megusir segala sakitnya namun ia memberi ruang ternyaman untuk Aldra.
"Abang berantem lagi?" Aldra menggeleng merebahkan tubuhnya di kasur bermotif barbie yang dominan berwarna merah muda itu.
"Bohong." Ini yang membuat Aldra nyaman menunjukkan sisi kerapuhan nya kepada Sabrina. Sabrina yang lebih memahaminya daripada orang lain, bahkan orang tuanya sendiri.
"Kali ini orang jahat mana yang berani mukul wajah tampan Abang Brie?" tanya Sabrina dengan mengangkat boneka kuda pony-nya ke udara, hal itu mengundang kekehan dari Aldra membuat nyeri di bagian luka lada wajahnya.
"Kamu itu bochil, mana ada bochil yang bisa nglawan monster laut? Yang ada kamu di makan hidup-hidup sama monsternya."
"Kan Abang udah ajarin Brie jurus terbaru--jurus jeritan maut. Brie yakin monsternya kalah terus kapok gangguin abang lagi." Aldra tertawa melupakan masalah Galang yang memukulinya tadi.
"Abang minta maaf gak bisa jemput Brie tadi di sekolah, soalnya Abang tadi lagi menjalankan misi penting jadi gak keburu. Maaf ya, Cil."
"Gak papa, kok. Asalkan sebagai gantinya abang mau belajarin Sabrina naik sepeda lagi." Aldra terdiam sesaat. Teringat tempo hari saat Aldra mengajari Sabrina menaiki sepeda karena Sabrina yang meneror Aldra terus-terusan.
Aldra mendadak diam. Ingatannya berputar saat ia dan teman-teman nya baru pulang setelah puas bermain basket sampai sore.
Sore itu Aldra tengah memarkirkan motor kesayangannya di garasi rumah dengan hati-hati. Berjalan pelan memasuki rumah lewat pintu belakang andalannya. Kegaduhan di garasi rumah kembali terjadi, karena Aldra penasaran ia segara berbalik mengecek keadaan di sana dan betapa terkejutnya ia melihat tubuh Sabrina sudah tertindih badan sepeda. Aldra dengan cepat menyingkirkan sepeda itu agar tak lagi menindih tubuh Sabrina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angan Impian [Revisi]
Teen Fiction"𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘦𝘴𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯?" "𝘈𝘳𝘢, 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵 𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘰𝘮𝘣𝘪𝘯𝘢𝘴𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘱𝘪𝘴𝘢𝘩𝘢𝘯. 𝘋𝘪𝘮𝘢𝘯...