Langit subuh masih menghiasi cakrawala. Bahkan suara orang bertadarus masih terdengar namun kedua orang beda usia itu nampak sudah rapi dengan pakaian mereka. David dengan baju casual nya dan Farel dengan setelan kemeja serta jas dokter yang terselampir di bahu kanannya. Ditemani dua cangkir kopi dan sepiring pisang goreng buatan David keduanya duduk di teras rumah mengamati aktifitas tetangga-tetangga mereka di pagi ini. Ada bapak-bapak yang baru bangun tidur langsung mengeluarkan burung perkutut peliharaannya, atau ibu-ibu yang siap-siap belanja kepasar, atau ibu-ibu yang menyapu halaman rumah mereka. Tak jarang tetangga yang melintas di depan rumah David bertegur sapa menyapa ayahnya."Pagi pak dokter," Seperti pagi ini Ayah sudah di sapa oleh bapak-bapak dengan atasan kaos singket dan bawahan sarung motif kotak-kotak.
"Pagi juga, Pak Pri. Mau berangkat kerja?" Ayahnya yang disapa lantas menyapa balik.
Tetangga di sekitar rumah mereka memang memanggil Ayah dengan sebutan 'Pak Dokter' atau 'Dokter' bukan hanya karena perkerjaan Ayah memanglah seorang dokter namun mereka lebih ke menghormati Ayah. Tak jarang jika ada salah seorang dari anggota keluarga mereka sedang sakit mereka akan mengetuk pintu rumah David untuk meminta pertolongan Ayah. Seperti apapun kondisinya jika pada hari itu Ayah sedang berada di rumah, pada hari itu juga beliau langsung bergegas menangani. Ayah baru pulang dari RS maupun dalam keadaan mengantuk sekalipun tak pernah Ayah menolak permintaan mereka. Maka dari itu tetangga sekitar begitu menghormati Ayah karena jasanya.
Kembali kepada pak Pri yang masih memanasi motornya. Pak Pri menyahut, "Iya, nih, pak Dokter. Anak udah harus bayar SPP bulan ini. Mau gak mau harus ngelembur lagi hari ini kalau gak mau anak saya suruh ngosek WC."
Pak Pri—tetangga depan rumah yang berkerja di pabrik—mengakhiri kalimatnya dengan kekehan. Ayah turut terkekeh. "Saya doakan semoga urusannya segera di mudahkan."
"Amiin... Yaudah kalau begitu saya mau berangkat dulu, pak Dokter."
"Silahkan!" Ayah mempersilahkan Pak Pri dengan sopan setelahnya pak Pri nampak mulai mengendarai motornya menjauhi pekarangan rumahnya.
Sepeninggalan Pak Pri bersama motor supra nya Ayah kembali terdiam. David masih saja terdiam menunggu sampai Ayah nya itu membuka percakapan baru. Sang Ayah mengambil cangkir kopinya yang sudah tak sepanas tadi saat baru di sajikan.
"Mas, kira-kira mas tahu nggak penyebab teman kamu menderita sakit seperti sekarang?" Ini pertama kalinya Ayah baru membicarakan hal ini kepada David setelah hampir sebulan Aldra di vonis penyakit mengerikan. Sebelumnya David memang pernah menanyakan sendiri pada Farel namun pria dengan kumis tipis itu enggan menjawabnya. David lantas menggeleng sebagai jawaban.
Ayah memberi jeda di sela pembicaraan mereka dengan mencomot gorengan seadanya buatan David. "Mendiang sahabat Ayah dulu—om Tyo punya penyakit sama seperti Aldra. Udah ada kelainan sama ginjalnya dari kecil, tapi semenjak teman Ayah itu menginjak bangku perkuliahan beliau mendapatkan donor ginjal dan setelahnya kesehatan beliau berangsur-angsur membaik. Hal itu juga merupakan satu dari alasan Ayah kenapa Ayah bisa di posisi sekarang.
Kita bertiga bersahabat dari jaman SMP tapi baru ketahuan ya sama kita waktu tahun pertama di SMA dan selama itu Ayah dan om Dimas giliran mendampingi om Tyo buat cuci darah dan treatment lainnya yang om Tyo lakuin. Kita berjuang bersama-sama sampai akhirnya perjuangan kita membuahkan hasil yang manis."
"Kalau dalam kasus Aldra, Aldra bisa terkena gagal ginjal karena faktor keturunan—itu yang pertama, keduanya karena pola hidup Aldra yang gak sehat. Kamu tahu sendiri gimana keseharian Aldra dan pastinya sedikit banyak kamu hapal kebiasaan dia buat minum kopi pahit tiap pagi dan makan makanan instant." Ayah berhenti berbicara menunggu respon anaknya untuk menanggapi penjabaran yang barusan ia jabarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angan Impian [Revisi]
Teen Fiction"𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘦𝘴𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯?" "𝘈𝘳𝘢, 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵 𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘰𝘮𝘣𝘪𝘯𝘢𝘴𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘱𝘪𝘴𝘢𝘩𝘢𝘯. 𝘋𝘪𝘮𝘢𝘯...