Di sepanjang jalanan pulang tak hentinya Aldra merintih kesakitan. Deru nafasnya sesak dan tak beraturan ditambah dengan nyeri yang menyiksa dari pinggang hingga leher. Maka, jika Aldra masih bisa pulang dengan utuh dan bernyawa itu suatu keajaiban mengingat tubuhnya yang rentan ditambah dengan aktivitas berat yang di jalani hari ini. Keajaiban itu terjadi ketika Aldra berhasil memasuki rumahnya dengan sempoyongan. Butuh perjuangan ekstra saat dirinya harus berjalan dari lantai satu menuju kamarnya yang berada di lantai 2. Aldra terus berpegangan dengan dinding atau benda berat yang mampu menahan berat tubuhnya yang sudah lemas.
Setelah Aldra berhasil menuju pijakan tangga terakhir tubuhnya tiba-tiba melemas. Di penghujung tangga ia menyerah meneruskan langkah. Badannya luruh di pijakan tangga terakhir. Ia menunduk saat cairan merah berbau anyir mengotori celananya.
"Aldra?" Aldra cepat-cepat membersihkan darah dihidungnya ketika suara Galang menginterupsi keberadaannya. Aldra menoleh kearah Galang yang tengah memakai sarung dan peci.
"Astagfirullah, Aldra! Lo habis dari mana aja sampai jam segini baru pulang? Lo ngluyur kemana aja, huh?!"
"Bisa antarin ke kamar? Aldra lemes banget, bang." Aldra tidak berbohong dengan kondisi tubuhnya sekarang.
"Alasan aja lo!"
"Gue tanya sekali lagi lo dari mana aja?"
"Gue kerja," Jawab lemas Aldra yang sudah kehabisan tenaga mengajak berdebat kakaknya itu.
"Kerja apaan sampai pulang pagi gini?! Ngejual diri?!" Sungguh hati Aldra sakit mendengar tuduhan Galang terhadapnya.
"Lagian uang dari Papa kurang sampai lo harus kerja sampai pagi gini?! Jangan-jangan uang Papa lo pake buat taruhan balapan?! Atau Lo gunain buat foya-foya sama para begajulan yang dibilang papa? Lo gunain buat gak bener? IYA?!"
Aldra terdiam cukup lama hingga Galang sampai harus mencengkram bahu Aldra dan menghadapkan tubuh Aldra sepenuhnya kearahnya. "Kalau yang tua tanya dijawab!"
Aldra perlahan bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang lemas dipaksa melangkah menjauhi Galang. Sungguh, Aldra tidak suka perdebatan jadi daripada ia harus berdebat dan bertengkar dengan Galang maka ia memilih menjauhi Galang. Saat Aldra melewati Galang yang masih menunjukkan kemarahannya bahu Aldra ditarik cukup kuat oleh Galang hingga empunya hampir terjungkal dan terpeleset di pijakan tangga. Untungnya Aldra masih bisa menjaga keseimbangannya dengan berpegangan besi pembatas tangga.
"Bang!" tegur Aldra.
"Apa?! Gak ada sopannya lo main pergi gitu aja saat gue tanya."
"Udah. Gue gak mau ribut. Gue capek." Galang mencekal pergelangan tangan Aldra saat anak itu hendak pergi.
"Al... Al... Lo itu udah gede, kurangin lah bandelnya. Belajar yang bener! Ngapain sih kelayapan nggak jelas sampe pagi? Bentar lagi lo tuh mau kelas 3. Gak kasihan sama Papa? Papa tuh susah-susah nyekolahin elo masa lo nya kayak begini?!"
"Gue capek bang! Biarin gue istirahat, gue mohon!" Aldra tidak berbohong. Ia sangat lelah dan membutuhkan menelan butir-butir obatnya di kamar.
"Lo—" ucapan Galang terputus saat Aldra berjalan cepat kearah kamarnya. Galang segera menyusul saat suara muntahan Aldra terdengar samar-samar dari luar.
Galang masih terdiam di belakang Aldra yang sibuk muntah-muntah. Dilihatnya wajah sang adik sudah memucat. Dada yang naik turun tidak beraturan menandakan anak itu kesulitan bernafas. Bulir-bulir keringat dingin di dahi nya semakin menunjukkan bahwa adiknya itu sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Sampai saat Galang memapahnya anak itu tak bereaksi apa-apa. Anehnya Aldra tidak menolak bantuan Galang namun Aldra masih terlihat acuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angan Impian [Revisi]
Teen Fiction"𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘦𝘴𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯?" "𝘈𝘳𝘢, 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵 𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘰𝘮𝘣𝘪𝘯𝘢𝘴𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘱𝘪𝘴𝘢𝘩𝘢𝘯. 𝘋𝘪𝘮𝘢𝘯...