13

2.6K 175 10
                                    

Pada akhirnya senyum itu lebur tergantikan tangis penanda hati yang hancur~ not be okay

_________________________

Devan yang tengah membaca laporan itu terlonjak kaget saat seorang remaja laki-laki membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu dengan santainya ia duduk di hadapan Devan tanpa raut bersalah sama sekali. Devan mencoba mengingat siapa remaja yang tidak ada sopan-sopannya saat bertamu di ruangannya itu. Devan teringat pemuda yang tempo lalu merengek pada Farel untuk dipulangkan meskipun kondisinya belum dinyatakan baik hingga membuat geger beberapa tenaga medis yang menanganinya.

"Kamu anak yang waktu itu sama dokter Farel?"

Aldra mengangguk. "Iya saya yang waktu itu. Saya ke sini buat ngambil hasil check up kemarin lusa."

"Ah ... anak yang bandel waktu itu." Devan melirihkan ucapannya diakhir.

"Saya masih bisa denger." Raut kesal Aldra yang mendominasi penglihatan Devan.

Devan berdehem. "Dimana wali kamu? Saya perlu berbicara dengan mereka terkait dengan hasil check up kamu."

"Dokter liat ada seseorang selain kita di sini?" Devan masih mencoba bersabar menghadapi ke-tengil-an remaja yang terpaut sedekade lebih muda darinya itu.

"Tapi kamu masih dibawah umur saya butuh wali kamu untuk membicarakan hal serius tentang kesehatan kamu."

"Mereka sedang sibuk tidak bisakah saya mengetahui hasil check up nya sekarang? Jika anda bersikeras ingin menunggu wali saya silahkan tunggu sampai kaki anda lumutan orang tua saya tidak akan pernah datang. Sekarang anda ingin memberitahu hasilnya sekarang atau saya pergi dan anda bisa menyimpan hasil check up itu sendiri?" Aldra tidak menyukai hal rumit yang membuatnya mengeluarkan banyak energi untuk berbicara semacam ini.

"Biar saya yang bicara--"

"Saya pergi. Permisi," pamit sekaligus potong Aldra. Ia berdiri hendak pergi namun pergelangan tangannya dicekal oleh Devan.

"Kamu bisa lebih sopan sedikit sama saya?!" Devan mulai kehilangan kendali hingga tanpa sadar menaikkan nada bicaranya padahal selama ini Devan dikenal penyabar tetapi pengecualian untuk hari ini. Tatapan Aldra terlihat sendu dan datar menatap Devan yang kini menatapnya tajam. "Saya harus memenuhi prosedur di rumah sakit ini. Saya yang akan bicara terhadap keluarga kamu karena bagaimana pun juga ini masalah serius tentang penyakit yang kamu derita."

"Saya sudah bilang bahwa mereka tidak akan sudi datang kemari bukan? Kenapa anda tetap tidak percaya?" Aldra terlihat menahan emosi. Amarahnya memang tidak terkontrol beberapa waktu lalu dan sekarang pun masih sama apalagi ditambah dengan kerumitan ini.

"Baik kalau anda ingin saya buktikan." Aldra mendial nomor Dimas pertama kali dan berhasil diangkat.

"Halo dengan siapa ini?" Suara Dimas menyambut indra pendengaran Aldra. Devan sempat tercengang bagaimana bisa ayah dari pasiennya itu tidak mengetahui nomor anaknya padahal di kontak Aldra tertulis nama "Papa Dimas".

"Halo, Pah ini Aldra. Papa bisa ke rumah sakit sekarang?"

Tutt ....

Panggilan terputus dan Dimas yang memutuskannya. Tak sampai disitu Aldra juga menelpon Sarah dan berulangkali di reject hingga pada akhirnya Sarah memblokir nomornya. Sampai yang terakhir ia menghubungi Bianca sebagai harapan terakhirnya. Bukannya sesuai yang diharapkan Bianca justru mengomeli Aldra yang kemarin bolos kerja di tempatnya.

"Saya cuma punya nomor mereka sebagai wali saya dan jawaban mereka seperti yang anda tahu." Aldra memang mengaktifkan loudspeaker atas titah Devan yang masih tak percaya padanya itu.

Angan Impian [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang