Rumah hangat
Untuk mengurai penat
_________________________David dengan berat hati meninggalkan Aldra seorang diri setelah anak itu dengan teganya mengusir David. Dengan berbagai alibi, ia bisa sendiri sampai bang Devan dijadikan perisai. Aldra cukup mengerti untuk memberi ruang kepada sahabatnya guna menikmati waktu berdua dengan sang ayah. Meski berat hati, David terpaksa menuruti permintaan Aldra.
Setibanya David di rumah ia disambut oleh heningnya ruang-ruang luas tanpa penghuni. David bahkan lupa kapan terakhir kali ia merasakan pulang yang sesungguhnya pulang. Rumah yang David punyai sudahlah sepi terlampau dingin pula. Berteman dengan kesepian yang tak tahu kapan habisnya.
Rumah yang nampak indah dipandang di luar namun terlihat mengerikan di dalamnya. Matanya bergulir menatap sebuah pigura besar yang terpajang di tengah ruang tamu mereka. Pigura yang didalamnya terdapat foto keluarga yang lengkap dengan Ayah, Bunda, dan dirinya yang sedang tersenyum cerah. Sungguh bagai keluarga utuh yang harmonis. Namun kenyataannya hanya kehancuran serta keretakan dimana-mana.
Keluarga yang kata orang lain panutan itu runtuh tak bersisa. Hingga tersisa dirinya dan sang ayah yang masih bertahan di sini. Bukan masanya David menceritakannya di sini. Biarlah waktu yang menjawab setiap pertanyaan dibenak kalian.
Derit pintu yang dibuka perlahan menarik atensi David, ia yang mulanya termenung kini tersenyum cerah menyambut kepulangan ayahnya. David mencium punggung tangan kanan milik ayahnya dan mengambil alih tas kerja sang ayah.
"Assalamualaikum, mas! Udah dari tadi?"
"Wa'alaikumsalam, Yah. Mas juga baru aja sampai."
Farel bergeming menatap wajah putranya. David yang merasa tidak nyaman di tatap seperti itu memiliki segera berpamitan dari sana untuk meletakkan tas Farel pada tempatnya. Barulah saat David kembali memunculkan dirinya di hadapan Farel, Farel menahan anak itu dengan merangkul bahu membawanya duduk bersebelahan di sofa.
"Ada yang mau di ceritain, Mas?"
"Enggak ada, Yah. Kita pergi sekarang ya?"
Farel mengangguk menyetujui keinginan putranya. "Ya sudah nanti aja ceritanya kalau udah sampai."
Perjalanan mereka kali ini diisi sunyi sampai akhirnya mereka tiba ke tempat yang dituju. Hamparan perkebunan luas membentang menyambut indra penglihatan David. Hawa dingin petang hari itu turut melengkapi keelokan alam. David masih termenung mencerna apa yang terjadi.
"Kita di bogor, Yah?" Farel mengangguk membuat David terpaku di tempatnya.
"Sekali-kali Ayah ajakin Mas quality time bareng. Jarang banget kan kita pergi jauh berdua?"
"I-yaa, tapi harus banget Bogor? Ditambah ayahnya itu mengendari mobil seorang diri karena sepanjang perjalanan David habiskan dengan tertidur. Itu berati Farel menghabiskan waktu 2,5-3 jam untuk berkendara seorang diri.
"Astaga, Ayah kenapa gak bangunin David? Ayah pasti kecapekan nyetir sendiri."
"Ayah gak papa, Mas. Lagian kamu kayaknya kecapaian gitu. Ayah gak tega banguninnya."
"Ayah?" David tidak enak sendiri kepada Farel. Wajah ayahnya itu nampak kelelahan seusai berkendara seorang diri.
Farel terkekeh merangkul bahu anaknya itu berjalan masuk ke dalam vila miliknya. Sesudah mereka berada di dalam keduanya sama-sama mendudukkan diri di sofa kelelahan.
"Mau jalan-jalan lihat perkebunan teh gak, Mas?" David menatap ayahnya tak percaya. Raut wajah ayahnya itu bahkan masih menampilkan kelelahan namun ayahnya itu paling bersemangat mengajak David berkebun.
"Istirahat dulu, Yah."
"Ish ... Mas. Udah Ayah bilangin berkali-kali kalau Ayah nggak Papa."
"Bukan masalahnya Ayah gak papa atau enggak. Tubuh Ayah masih butuh istirahat."
"Ayah pengen quality time sama kamu, mas."
"Nanti kalau udah istirahat kita quality time. Sekarang ayah istirahat dulu aja."
"Daritadi Ayah lihat-lihat kamu kayak kelihatan cemas banget kenapa? Aldra udah pulang kan?" David menggeleng pelan.
"Maksud kamu geleng-geleng itu apa? Aldra udah pulang atau kamu gak tahu dia udah pulang belum?" Farel bertanya kembali karena dirasa jawaban anaknya dinilai ambigu.
"David gak tahu, Yah."
"Seharusnya dia sudah boleh pulang sehabis infusnya habis. Tapi belum tahu juga soalnya tadi Aldra kelihatan masih butuh perawatan," lanjut David sembari mengecek notifikasi ponselnya. Bersiaga kalau-kalau Devan menghubunginya terkait Aldra.
"Kamu kelihatan cemas banget gitu, Bang. Kamu khawatir sama Aldra? Atau mau kita balik jakarta lagi aja?" David menatap tidak setuju dengan pertanyaan terakhir yang ayahnya tawarkan.
"David gak papa, Yah."
"Mas?" Panggil Farel meyakinkan.
"David baik-baik aja. Aldra di sana pasti juga udah baik-baik aja. Ada bang Devan juga jadi pasti aman."
Farel terdiam selagi setia menyimak ucapan anaknya. Jadi seperti inilah David tumbuh. Ia akan terus berpura-pura menyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak apa-apa hingga ia merasa tidak perlu membagi keresahannya dengan orang lain. Ia memendam semuanya sendiri hingga rongga nya perlahan-lahan terkikis.
Baru kemarin rasanya Farel bisa berbicara layaknya Ayah-anak pada umumnya karena biasanya baik David maupun Farel akan sibuk dengan urusannya masing-masing. Sedari kecil David memang terbiasa sendiri. Kesibukan kedua orang tuanya membuat David jarang diperhatikan. David tumbuh dengan minimnya kasih sayang oleh orang tuanya sendiri. Meski begitu Farel bersyukur anak semata wayangnya dapat tumbuh dengan baik.
"Sekarang ada ayah yang bisa dengerin kamu, nak. Tidak perlu ditahan lagi. Keluarkan semuanya biar Ayah dengarkan."
"David takut ayah." David semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sembari mencoba untuk terlihat tegar dihadapan ayahnya.
"Takut apa, hmm? Cerita sama ayah!" Air mata David jatuh pada saat itu. Ia kembali diingatkan ketika ia masih kecil dulu. Setiap kali ia ketakutan atau merasakan sakit kedua orang tuanya akan menanyainya dan menawarkan telinga untuk mendengar cerita darinya.
"David takut ...."
"Aldra masih bisa sembuh kan, Yah? Aldra bilang sama David kalau dia pengen ngerasain kasih sayang tante Sarah secara utuh."
"Dan setelah keinginannya terkabul kenapa dia harus gini?"
"Dia bilang, manusia itu gak boleh maruk kalau sudah keinginannya terpenuhi ia tidak boleh meminta lebih. Tapi David pengen egois dengan membiarkan Aldra bersama kita lebih lama. David gak tega lihat Aldra sakit, Yah."
"Maafin David kalau David egois untuk saudara David Ayah." Farel membawa daksa putranya untuk ia dekap dengan hangat. Kehangatan yang tersisa darinya itu ia salurkan ke putranya sekedar untuk menyemangati putranya yang sedang berjuang.
"David gak mau ditinggalin lagi, Ayah." Detik itu David menangis meraung seperti seorang anak kecil yang sedang mengadu pada ayahnya. Akhirnya, di hadapan Farel, David terang-terangan menunjukkan sisi rapuhnya lagi tanpa lagi harus berpura-pura.
TBC.
Hai, untuk kalian sedang membaca tulisanku!
Tulisan singkat ini dibuat untuk kalian yang sedang tidak baik-baik saja. Pada chapter ini aku ingin berbagi sedikit kata yang tak sempat aku ucapkan sebelumnya. Pada chapter ini aku ingin kalian tahu bahwasanya tidak apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Berhenti membohongi diri dengan mengatakan kamu tidak apa padahal kamu sendiri yang tahu bagaimana hebatnya kamu berjuang, terluka, jatuh, dan hal-hal berat lainnya yang pernah kamu rasakan.
Mulai sekarang, mari belajar menerima diri kita masing-masing. Mensyukuri segala sesuatu yang kita Terima serta mengikhlaskan sesuatu yang tidak untuk kita.
"Love yourself 'coz u're the best part on your life!"
—ctwinkle
KAMU SEDANG MEMBACA
Angan Impian [Revisi]
Teen Fiction"𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘦𝘴𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯?" "𝘈𝘳𝘢, 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵 𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘰𝘮𝘣𝘪𝘯𝘢𝘴𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘱𝘪𝘴𝘢𝘩𝘢𝘯. 𝘋𝘪𝘮𝘢𝘯...