39

1.4K 90 18
                                    

Kalau masing sahabat Aldra ditanyai sosok Aldra itu seperti apa mereka mungkin akan menyebutkan Aldra itu  gila, konyol, pemimpin belati, bucin, dan jawaban lainnya. Namun ketika ditanyai lebih dalam perihal peringainya Aldra itu pendengar yang baik namun bukan pembicara yang baik tentang masalahnya sendiri. Ia yang memilih menyembunyikan masalahnya sendiri, namun ketika yang lain sedang mengalami masalah ia adalah orang yang akan mengulurkan tangan, menyiapkan telinga pertama kali. Sangat sulit menjumpai Aldra yang putus asa dengan titik terendahnya. Namun berbeda dengan hari ini, ketika untuk pertama kalinya Aldra menumpahkan seluruh keluh kesahnya kepada kedua sahabatnya.

Cukup lama ketiganya dalam posisi memeluk seusai Aldra menceritakan apa yang memberatkannya sampai pada akhirnya pasya mengurai pelukannya namun betapa terkejutnya mereka ketika raut Aldra sudah pucat pasi menahan rasa sakit.


"Al, lo kenapa? Mana yang sakit? Obat lo mana?" Berbeda dengan Pasha yang memberondong Aldra dengan pertanyaan David langsung mengobrak-abrik saku Aldra guna menemukan obat penyambung hidup temannya itu.


"Obat lo ketinggalan?" Tebak David dengan raut frustasinya ketika ia tidak menemukan benda yang ia cari sedari tadi. Aldra mengangguk lemah. David mengacak kasar rambutnya melampiaskan kekesalannya.


Pasha melongo ditempat. Sadar kondisi temannya yang membutuhkan pertolongan medis segera. Tak lama kemudian ia bangkit hendak membopong Aldra. "Kita bawa ke rumah sakit."


Aldra menggeleng keras. Ia baru saja keluar dari sana kemarin dan sekarang masa iya ia harus kembali kesana lagi. Sungguh Aldra benar-benar muak dengan bangunan berbau obat itu. "Di sini aja, gak papa sebentar lagi—"


"Sebentar lagi apa? Lo bisa sekarat tolol!" Acuh dengan umpatan yang baru saja Pasha lontarkan David membantu Pasha membopong tubuh lemah Aldra.


"Jangan... Gue mohon jangan," Pinta sarat keputusasaan itu akhirnya terlontar dari mulut Aldra.


"Gue masih bisa tahan." Baru saja Pasha hendak menyela namun Aldra kembali berujar lagi, "30 menit. Kalau dalam waktu itu setelahnya kalian bisa seret gue."


David dan Pasha saling kontak mata dan pada akhirnya mereka mendudukan Aldra ke tempat semula. Aldra tertidur dengan beralaskan dinding pembatas. Ia sandarkan tubuh lelahnya di sana. Setelahnya kelopak matanya perlahan menutup namun sebelum mata itu terpejam sempurna ia berujar lirih, "Gue cuma tidur, kok."


Tidur yang Aldra maksud itu sudah melebihi waktu yang mereka bertiga sepakati. Hampir sejam mereka berada disana namun Aldra tak kunjung membuka matanya. Deru napasnya tak beraturan, ditambah keringat dingin yang mulai bermunculan dari dahinya. Aldra yang tengah lelap dalam tidurnya itu malah membuat mereka khawatir.


"Lo yakin ni anak tidur bukan pingsan?" David menengok Aldra yang menjadikan bahunya sandaran kemudian mengangkat kedua bahu nya acuh. David sudah cukup lelah menghadapi kekeraskepalaan sahabatnya yang satu itu.


"Lo nggak mau tanya gue bisa tahu sakit Aldra dari siapa gitu?" Tanya Pasha yang keheranan dengan respon David yang datar terhadap kehadirannya.

Angan Impian [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang