"Kata seharusnya itu tak dapat mengembalikan keadaan yang sudah terjadi."
Sarah
____________________
Malam ini Sarah masih terjaga lantaran tak ingin menghabiskan malam yang terasa indah ini dengan cepat tertidur. Ia sebetulnya masih dilema antara ia harus senang atau justru merasa sedih. Sarah menengok kasurnya yang masih kosong tanpa kehadiran sang suami. Sarah menduga suaminya itu akan pulang menjelang pagi seraya menghabiskan waktu dengan mengelilingi jalan Panglima Polim seperti kebiasaannya saat suntuk sewaktu mereka sama-sama masih berada di bangku perkuliahan.
Sarah tergerak membuka laci paling bawah dan meraba benda yang selama ini selalu ia jaga dengan baik. Sebuah foto yang terdapat ia dan keluarga kecilnya dan satunya lagi berisikan foto mendiang Tyo yang tersenyum bahagia menggendong buah hatinya. Foto yang diabadikan saat umur Galang yang berumur 2 tahun selisih setahun dengan umur Aldra. Matanya berkaca melihat ketulusan Tyo menatap putra-putranya dengan senyuman yang mampu membuat Sarah merasa jatuh sejatuh-jatuhnya.
Tyo masih tetap menaruh tempat pada hati Sarah. Bagaimanapun juga Tyo pernah menjadi penawar bagi setiap lukanya dan sekarang ia telah menjadi seorang ayah untuk anak-anak nya. Dengan mengingatnya Sarah kembali dihadapkan pada sebuah fakta bahwa ia salah satu dari penyebab meninggalnya Tyo. Sarah kembali dirundung sesal sebab telah memisahkan seorang ayah dari anak-anaknya.
'Bukan salah Mama, Aldra, maupun pengemudi itu. Ini udah takdir, Ma. Meskipun pada saat itu Mama gak minta cerai sekalipun Papa pasti akan meninggal pada hari itu juga.'
Sarah masih bisa membayangkan lembut tutur anak tengahnya kalau membisikkan nya kalimat penenang persis yang psikiater ajarkan kepadanya tatkala ia kembali terpuruk. Tak ada yang tahu bahwa selama ini anak yang ia asing kan keberadaannya malah lebih menaruh perhatian kepadanya. Sarah tahu kecelakaan setahun silam yang mengakibatkan Aldra kritis selama beberapa minggu itu adalah ulah anak itu sendiri yang menerima ajakan balap liar dari teman, namun untuk alasan dibalik tindakan tercela putranya tidak Sarah ketahui penyebabnya. Dirinya hanya bisa menyalahkan Aldra ketika anak itu baru membuka mata untuk pertama kalinya semenjak kritis akibat mendapat benturan keras pada punggungnya.
Sarah baru mendapatkan alasan kenapa anaknya bertindak demikian ketika anak itu memberikan uang hasil balapan secara sembunyi sembunyi kepada bik Larsih untuk membayar konsultasi rutinnya. Berapa kali pun Sarah menolaknya Aldra selalu memiliki cara tersendiri agar uang itu kembali kepada Sarah. Beberapa kali Sarah mengatai, memarahi, dan mendiamkan Aldra anak itu tetap bersikeras memberikannya. Aldra itu mirip seperti Tyo. Alasan mengapa ia membenci anak itu salah satunya juga karena Aldra mengingatkannya dengan mendiang suaminya.
Cara anak itu berfikir, bertindak, dan berbicara benar-benar mencerminkan sikap Tyo. Satu hal lagi kesamaan mereka. Mereka memiliki hati yang lebar untuk memaafkan. Kembali lagi tentang Dimas ... Nama itu bahkan membuat Sarah kembali merasakan amarah yang memuncak. Ada sebuah alasan mengapa Aldra tidak pernah memanggil Dimas 'Papa' ketika sedang bersamanya.
"Jangan pernah memanggil om lagi. Mulai sekarang aku papamu ingat itu?!Panggil aku papa seperti kamu memanggil Tyo." Aldra kecil terdiam dengan lelehan air mata yang menahan rasa perih terbakar di punggungnya.
"ARGHH-"
Satu sulutan rokok dengan ujung yang masih membara kembali tertoreh di punggung Aldra. Teriak, menangis, dan meminta tolong pun sudah tak berguna lagi saat keadaannya mereka hanya berdua di rumah itu. Sarah sedang menghadiri lomba cerdas cermat Galang. Aldra kecil kembali meringis sembari terisak. Dimas tetap dengan tatapan bengisnya tanpa rasa iba sedikitpun.
"I-iya P-pa-pa ...."
Setelah kepulangan Sarah bik Larsih tergopoh menghampirinya dan menceritakan semuanya. bik Larsih juga mengatakan keadaan Aldra yang tidak baik-baik saja. Anak itu mengasingkan diri di taman belakang dengan melamun dan menolak diobati. Dengan tergesa-gesa Sarah menghampiri anaknya yang tengah duduk membelakangi nya. Kepala anak itu ditenggelamkan pada kedua lututnya yang ditekuk. Perlahan tubuh anak itu mulai bergetar. Sarah yakin anak itu tengah menangis meskipun tidak terdengar isakan sama sekali.
"Papa Aldra cuma papa Tyo, Ma, bukan om Dimas. Om Dimas jahat ... Punggung Aldra sakit."
Hati Sarah sesak seperti dihimpit batu besar hingga nafasnya tercekat. Ia tak bisa membayangkan bagaimana keadaan Aldra saat itu. Bagaimana rasa sakit yang selama ini harus ia tanggung seorang diri. Bagaimana keluh anak itu yang terus dipaksa tertahan tak tersiar akan. Pasti sakit dan menyesakkan. Payahnya ia sebagai satu-satunya rumah seolah menutup pintu untuk pulang putranya.
Banyak kata seharusnya yang berputar di kepala Sarah. Kata seharusnya itu tak dapat mengembalikan keadaan yang sudah terjadi ketika sendu sorot itu menghunus nya hingga ke jantung, menyadarkan kesalahannya. Sarah membenarkan perkataan Aldra bahwa masih belum terlambat untuk memperbaiki meski tak lagi utuh seperti semula setidaknya ia tidak akan membiarkan putranya semakin rapuh seorang diri.
Kenapa sesakit ini Tuhan?
Sarah mengambil selembar kertas di laci riasnya paling atas. Tangannya menggenggam erat pena bewarna coklat kayu hadiah ulang tahun dari Aldra namun ia titipkan ke Bi Larsih untuk memberikannya. Sesak itu ia tumpahkan dicerik kertas. Ia terlalu pengecut untuk mengutarakan penyesalannya di hadapan anaknya. Di kata akhir penutup surat itu Sarah tak mampu lagi membendung tangis kesekian kalinya.
Ia tak pedulikan lagi kedua matanya yang membengkak. Surat itu telah selesai ia tulis kemudian ia lipat dan memasukkannya ke dalam amplop bewarna senada dengan pulpen pemberian Aldra. Di bagian depan amplop ia beri keterangan 'untuk putra terhebat Mama'.
Dalam secarik surat itu ia menuliskan apa yang selama ini tak bisa ia utarakan langsung pada putranya. Dalam surat itu Sarah melepas segalanya yang ia tahan untuk putranya. Dalam surat itu ia kembali meminta maaf untuk kesalahan yang ia telah perbuat pada putranya. Ia terlalu lemah untuk melihat putranya. Sarah hanya bisa menyimpannya kembali kedalam lacinya tanpa bisa ia serahkan langsung kepada putranya.
"Maaf Mama belum bisa kasih surat ini langsung sama kamu, Sayang. Mama mu ini terlalu pengecut untuk mengakui kesalahannya. Dan sekarang baru Mama rasakan sakitnya apa yang telah Mama torehkan."
Sayup-sayup dapat Sarah dengar pembicaraan dari arah kamar putra keduanya. Lirih suara itu masih dapat ia dengar karena kamar putranya yang letaknya tak jauh dari kamarnya sekaligus suasana sunyi ini memudahkan Sarah mendengar suara putranya.
"Aku baikan sama mama aku, Ar. Tadi aku juga ngumpul bareng sama keluarga aku terkecuali Om Dimas, sih. Tapi aku seneng banget, Ar."
Sarah mendongakkan kepala dengan derai air mata yang terjatuh. Penyesalannya telah tiba dan hukuman nya telah dimulai. Sarah hanya bisa menjalankan hukuman nya tanpa banyak mengeluhkan sesak dan sakit yang berlomba-lomba menghimpit dadanya, mencekiknya hingga ia kesusahan bernafas. Tidak ada yang salah dalam perkataan putranya namun terasa menyayat hatinya sendiri ketika mendengar bagaimana getar nada anaknya mengatakan ia bahagia hal sederhana yang ia lakukan.
Sesederhana itu kah bahagia kamu?
TBCYohooooo bagaimana perasaan kalian baca chapter ini?
Aku sih nyess gitu ngetiknya asli 😔
Jangan lupa feedback dengan votemen qaqa🤗
Maturnuwun,
KAMU SEDANG MEMBACA
Angan Impian [Revisi]
Teen Fiction"𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘦𝘴𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯?" "𝘈𝘳𝘢, 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵 𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘰𝘮𝘣𝘪𝘯𝘢𝘴𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘱𝘪𝘴𝘢𝘩𝘢𝘯. 𝘋𝘪𝘮𝘢𝘯...