08 SoY

188 17 8
                                    

AKU menatap datar seseorang di depanku. Laki-laki berkulit cokelat ini berkata seolah-olah telah mengenal lama, padahal tidak sedikitpun aku mengingat kejadian yang membuat kita saling akrab. Apa peduliku? Sekalipun dia anak dari seorang pejabat di kota ini, aku tidak akan peduli.

Aku menggeleng. Mengenyahkan semua pikiran tentang laki-laki absurd yang tiba-tiba muncul.

"Lo beneran gak inget gue?"

"Enggak."

Napasnya menghembus dengan kasar seolah-olah beban berat tengah tertanggung ketika aku mengucapkan kata itu.

Lalu, dia menyalurkan tangan. Sebuah senyuman mengembang sempurna. Angin berhembus menerbangkan anak rambutku yang terurai. Dedaunan tertiup mengikuti sang angin yang membawa pergi. Aku menatap laki-laki itu. Meskipun dia mengaku mengenalku, tidak ada  sedikitpun memori yang mampu mengingatkanku pada sosoknya.

Dia siapa?

Dia menarik kembali uluran tangannya karena menyadari aku tidak akan menyambut tangan itu. Lagi-lagi, dia tersenyum. Apa dia suka tersenyum? Huh, sikapnya sangat bertolak belakang dengan sikap Alan. Bahkan Alan tidak akan tersenyum semudah itu pada perempuan. Kenapa aku malah membandingkannya dengan Alan? Ah! Aku rasa aku sedang gila!

"Gue Hendri Santoso, temen lo waktu smp. Inget gak?"

Dahiku berkerut, mencoba mengingat-ingat kembali akan masa putih biru itu. Aku tidak mengenal nama Hendri. Seingatku tidak ada teman sekelasku yang bernama Hendri. Lantas, dia Hendri yang mana?

"Lo gak inget atau gak kenal gue?"

"Gak kenal."

"Hahaha, lo jujur banget ya.." ucapnya sambil tertawa.

Aku terdiam. Tawa itu terasa aneh dan canggung. Aku mulai tidak nyaman berada di samping laki-laki yang bernama Hendri. Apa motif dari si Pelaku? Sebaiknya aku pergi, sebelum semuanya menjadi tidak terkendali.

"Lo mau ke mana?" Katanya ketika melihatku hendak beranjak dari tempat semula.

"Kelas."

"Gue anterin ya?"

"Enggak usah, gue punya kaki."

Hendri tersenyum. "Gue tau kok, gue cuma mau mastiin lo baik-baik aja."

Aku memutar bola mata malas. Kata-kata yang baru saja terlontar dari bibir Hendri membuatku ingin muntaber, muak, dan jijik. Sebenarnya dia spesies laki-laki macam apa? Aku bahkan tidak nyaman berada di dekatnya.

"Makasih." Aku tersenyum. "Tapi gue bisa sendiri."

"Oke, lain kali mau ya gue anter?"

"Enggak."

"Ih, judes banget. Jangan judes-judes nanti gak ada yang mau lho, kecuali gue, hehe.."

Aku memutar bola mata, kemudian berjalan meninggalkan Hendri. Namun, laki-laki itu malah mensejajarkan langkah dengan senyum yang tidak jelas.

Aku berhenti melangkah dengan tangan menggenggam erat buku biologi. Kasihan, buku-buku itu tidak bersalah, tetapi menjadi sasaran amarah dan rasa kesalku.

"Kenapa berhenti?" Tanya Hendri.

Aku menghadap Hendri dengan tatapan datar. "Tadi udah gue bilang gue bisa sendiri ke kelas. Ngapain lo ngikutin gue?"

"Gue ngikutin lo?"

"Iya!"

"Lo salah paham, gue juga mau ke kelas. Sama-sama ke sana, kan?" Hendri menunjuk ke arah gedung di bagian utara. "Bedanya, kelas lo di atas sedangkan kelas gue di bawah."

Story Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang