06 SoY

188 22 12
                                    

EZRA menyunggingkan sebuah senyuman mengerikan.

"Buat siapa?"

Aku bangkit dari duduk untuk mensejajarkan tubuh. Laki-laki ini telah lancang membaca curhatku tanpa izin.

"Kepo!"

"Ih, galak bener, Mbak?"

"Terserah."

Aku melangkah menjauh dari Ezra. Menyebalkan. Tidak pernah satupun orang yang mampu membaca buku diary-ku dan Ezra dengan lancang membacanya?! Dasar laki-laki menyebalkan!

"Eh Ra! Lo mau ke mana?!" Teriak Ezra di belakang tubuhku.

Aku benar-benar marah. Aku tidak pernah bercanda dalam hal buku diary. Menurutku, hal privasi tidak  semudah itu diketahui orang lain, termasuk Ezra yang bukan kategori orang spesial.

Pernah sekali. Dulu, Ibu membaca buku diary-ku. Hampir saja amarahku mencuat, namun tertahan karena dia adalah Ibuku. Aku tak mampu marah pada orang yang kusayangi. Kali ini?! Ezra? Yang benar saja, cih! Bahkan dia bukan siapa-siapa.

"Ra! Jangan marah ya?"

Ezra membentangkan tangan ketika aku hendak menuruni tangga. Laki-laki itu tersenyum manis dengan  menaikkan alis. Menyebalkan! Jika bukan karena rasa kemanusiaan, mungkin Ezra sudah menjadi daging cincang.

"Apaan sih lo?!"

"Maaf ya?" Ezra menaruh kedua tangan di depan dada dengan wajah memelas.

"Harusnya lo tau batasan, bukan malah kepo sama privasi seseorang."

"Iya gue tahu, maaf ya.."

"Tau ah!"

Aku melewati Ezra dengan mengambil langkah yang bebas dari jangkauannya. Tingkah Ezra menjadi menyebalkan. Sangat tidak realistis jika aku membenci laki-laki itu karena ketahuan menulis buku diary, namun bagaimana lagi? Diary ibarat Dara kedua yang ada di dunia. Buku ini menjadi sejarah terpanjang tentang variasi rasa.

"Dara! Lo beneran marah sama gue?!" Teriak Ezra, namun tidak tergubris karena aku yang terus berjalan menjauhinya.

Ezra ikut turun menuju lantai satu, sedangkan aku semakin muak dengan kehadirannya.

Ketika hendak berbelok ke kiri, aku menabrak seseorang. Semua ini dikarenakan Ezra, sehingga aku tergesa-gesa untuk menghindar. Aku membentur dada bidang seorang laki-laki hingga membuat buku diary-ku terjatuh ke lantai dengan posisi terbuka.

Aku masih belum sadar sepenuhnya ketika melihat laki-laki muka kaku. Entah dia mempunyai magic apa hingga membuatku mematung, tidak dapat bergerak. Laki-laki itu membungkuk untuk mengambil buku diary-ku dan membacanya sekilas pada halaman terakhir. Kemungkinan adalah curhatan yang baru saja kutulis.

Sebentar.. Membaca?! Pada halaman terakhir?! Apa?!

Aku segera menarik buku diary-ku dari tangannya. Menatap tajam kedua mata yang datar tanpa ekspresi. Hari ini adalah hari paling menyebalkan. Bertemu dengan dua laki-laki yang kepo dengan privasi orang lain. Aku ingin memakan habis daging cincang hari ini.

"Gak sopan!"

Alan menaikkan satu alis sebagai jawaban.

"Lo siapa baca buku diary gue?!"

"Alan, lo juga baca buku diary-nya Dara?"

Ezra datang dengan napas yang memburu karena berlari. Rasanya aku ingin menarik jambul katulistiwa yang ada di kepala Ezra. Laki-laki itu memang lucu, tetapi tidak jika berkaitan dengan buku diary-ku.

Alan hanya mengangguk singkat sebagai respon atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Ezra. Memang tak pantas untuk ditiru. Terlalu singkat. Apa Alan tidak mempunyai pita suara hingga membuat laki-laki itu tidak suka berbicara?

"Sama dong, hehe.. "

Aku menatap Ezra tajam, kemudian mencubit lengan laki-laki itu sangat kecil. Aku yakin, rasanya sangat sakit hingga membuat Ezra meringis. Rasakan!

"Buseett, sakit, Ra!"

"Biar lo sadar, otak itu pake bukan dipajang!"

"Otak gue mahal, makanya dipajang."

Aku tidak mendengarkan perkataan Ezra dan beralih menatap Alan lekat. Amarah menguasai tubuhku. Laki-laki itu terlalu kaku hingga tidak mempunyai warna hidup.

"Lo gak bisa ngomong panjang dikit?"

"Biiiissssaaaa, udah?"

Aku menggeram kesal. Alan memang pintar, sangking pintarnya dia mudah memutar balikkan pertanyaan. Alan tidak salah, dia memang bisa berbicara panjang. Bukan model laki-laki yang cerewet, melainkan laki-laki yang memanjangkan kata. Sungguh membuat naik darah. Bagaimana aku menghadapi dua orang menyebalkan ini?!

Aku menatap Alan tajam. "Gue kira lo paham privasi itu apa. Tapi gue salah, lo gak ngerti apapun. Termasuk privasi seseorang."

Aku menekankan setiap kata dalam ucapan, kemudian beranjak pergi meninggalkan dua laki-laki menyebalkan.

Aku tidak peduli dengan mereka dan akan selalu begitu.

•••••

Story Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang