11 SoY

160 14 4
                                    

TATAPANKU mengarah pada luar jendela di mana dedaunan bergoyang seirama dengan arah angin. Seminggu berlalu setelah kejadian yang membuatku limbung tidak berdaya. Dalam rentang seminggu, aku terbaring di atas tempat tidur tanpa kegiatan apapun. Ibu khawatir dengan keadaanku yang semakin hari semakin parah. Apalagi ketika dokter mengatakan bahwa penyakit typus yang aku derita sejak kecil kambuh kembali.

Ibu menghabiskan hari dengan mengoceh panjang lebar. Katanya, aku harus menjaga kesehatan. Kesehatan adalah hal terpenting, tidak peduli dengan kecantikan, kepintaran, atau kebahagiaan, asalkan aku sehat maka semuanya akan mudah untuk didapatkan.

Ibu adalah wanita pertama yang peduli tanpa belas kasih. Di pagi hari Ibu akan bersiap-siap bekerja dengan menyiapkan sarapan terlebih dahulu. Jika aku belum bangun, dengan cerewetnya Ibu akan berteriak bagaikan tukang sayur kompleks. Sangat keras dan berisik melebihi ayam berkokok. Ingin hati mengumpat, namun dia adalah Ibuku. Ibu yang rela mempertaruhkan nyawa agar aku hadir ke dunia.

Tok.. tok.. tok..

Ketukan pada pintu membuatku mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Ibu muncul dengan bubur yang tidak aku sukai. Mengapa aku tidak suka bubur? Karena bubur itu lembek dan ketika aku memakannya seperti nenek ompong alias tidak punya gigi. Sedikit menjijikan.

"Nanti dimakan buburnya ya? Jangan dianggurin kayak kemaren." Ibu meletakan nampan yang berisi bubur, segelas susu, dan obat di atas nakas.

Aku menatap Ibu dengan raut menolak. "Dara gak suka bubur, Bu. Rasanya gak enak, bukannya makan malah muntah-muntah."

Ya, aku tidak suka bubur. Jika dipaksa ujung-ujungnya akan muntah. Aneh, kan? Aku juga tidak mengerti mengapa membenci makanan bernama bubur itu.

Ibu mendekatiku, kemudian mengelus kedua tanganku. "Kamu itu sakit typus. Kamu gak boleh makan yang berat-berat dulu, harus yang lembut."

"Tapi jangan bubur, Dara gak suka."

Ibu tersenyum. "Beberapa sendok saja. Buat mengisi perut, kasihan perut kamu kosong."

Aku menghela napas pelan. Menatap Ibu yang juga menatapku. Mau tidak mau aku harus menuruti permintaannya. Akhirnya, aku mengangguk pasrah. Ibu tersenyum senang.

"Ibu berangkat kerja dulu ya? Kamu jaga kesehatan, jangan sakit terus." Ibu berdiri, kemudian mengusap pucuk kepalaku.

Aku meraih tangan Ibu dan menciumnya penuh kasih sayang. "Hati-hati dijalan, Bu."

"Iya, nanti Ayah pulang, jangan lupa minum obatnya."

"Iya, Bu."

Ibu melangkah meninggalkan kamar. Keadaan kembali hening. Rumah ini berubah menjadi sepi. Penghuninya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ayah harus berkerja pagi-pagi sekali, begitupun dengan Ibu. Aku mempunyai seorang kakak. Namanya Tama. Hari ini Kak Tama tidak di rumah karena ada kuliah yang harus diikuti.

Jadi, aku sendiri. Berteman dengan hembusan angin dari luar jendela. Seminggu kuhabiskan dengan menatap jendela dengan dedaunan yang terombang-ambing oleh angin. Keadaanku telah membaik, namun Ibu tidak ingin aku ke sekolah hari ini.

Aku masih mengingat luka itu. Bahkan ketika kesendirian menyerubungi. Aku berusaha untuk melupakan luka yang diberikan oleh Aga. Melupakan cintaku kepada Kak Alfa. Namun, semakin aku memaksa, semakin bayangan luka datang menghampiri. Ternyata melupakan tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Drrttt.. Drrrtt.. Drrtt..

Ponselku bergetar menandakan ada pesan yang masuk. Tanganku bergerak meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.

Story Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang