PAGI yang cerah. Aku melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah. Kali ini, sebuah senyuman mengembang sempurna. Menyambut pagi dengan kebahagiaan sederhana.
Para siswa berseragam putih abu-abu mulai berdatangan. Suasana yang damai dan santai. Bu Mira terlihat berdiri di depan gerbang untuk memeriksa satu persatu anak didiknya. Sekolah ini tidak terlalu ketat dalam peraturan, namun, tetap ada hukuman bagi yang melanggar.
Dari kejauhan, aku melihat seorang siswa menggunakan sepatu warna-warni. Kalau tidak salah, dia bernama Beni. Ya, Beni terkenal badboy. Laki-laki itu mempunyai ciri khas urakan, datang telat, dan seenaknya. Dia tidak pernah main-main dengan orang yang berani menantangnya. Beni terlihat menyeramkan dengan gaya berpakaian seperti preman. Sekarang, laki-laki itu sedang mendapat hukuman dan ceramah dari Bu Mira.
Aku berjalan cepat melewatinya. Jangan sampai laki-laki bernama Beni itu melihatku. Meskipun tidak mempunyai masalah dengan laki-laki itu, setidaknya aku menghindarinya. Aku ingin hidup tenang tanpa gangguan dari siswa tetapi berkelakuan preman.
Di pertigaan lorong, aku melihat Hendri. Oh tidak! Hari ini aku sial. Setelah lolos dari harimau, sekarang masuk di kandang buaya? Shit! Aku mengutuk hari-hari yang tidak ada keberuntungan ini.
Sebelum Hendri menyadari keberadaanku, aku berbalik. Bersembunyi di belakang tembok yang mampu menutupi tubuhku. Sesekali aku menatap Hendri dengan tubuh yang was-was, takut ketahuan. Hendri sedang berbincang dengan temannya membicarakan hal penting. Aku menahan napas sesaat, kemudian kembali bersembunyi.
Bagaimana ini?! Apakah aku harus bersembunyi terus?!
Aku melirik jam tangan putih. Pukul 06.50 WIB. Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi. Tidak mungkin aku berdiri di balik tembok ini terus, sedangkan jam pertama adalah jam pelajaran matematika. Tentu saja, tidak ada masalah dengan gurunya, yang menjadi masalah adalah ulangan di jam pertama.
Aku menepuk jidat keras-keras. Satu-satunya jalan, adalah melewati jalan ini. Kelasku berada di atas, yang pasti harus melewati tangga. Tidak mungkin aku terbang, kan? Dalam hati aku berkata, seandainya aku punya sayap.
"Lo ngapain di situ?" Suara berat yang kukenali dengan jelas membuyarkan lamunan.
Aku melotot menemukan Alan berdiri di sampingku. "A-alan?!"
"Iya, gue Alan. Kenapa?" Alan menatapku aneh. Laki-laki itu seakan menyadari gelagat aneh dariku.
Refleks, aku menarik tangan laki-laki itu hingga berada di depanku. Tidak! Ini terlalu dekat. Jarak antara aku dan Alan hanya satu senti. Jantung terasa berdegub dengan kencang. Mataku menatap matanya. Mata yang indah. Kecokelatan tetapi mampu menghayutkanku ke dalam kenyamanan.
Sadar Dara!
Aku mengerjabkan mata berulang kali, kemudian mendorong Alan menjauh. Degub jantungku tidak henti-hentinya berdisko. Aku tidak dapat berkata banyak. Mulut terasa kaku untuk berucap.
Sesekali aku melirik Alan. Laki-laki itu terlihat canggung. Tatapannya mengarah ke samping. Mengapa menjadi canggung begini? Aku menggigit bibir bawah dengan kuat, tidak peduli dengan gigitan yang akan berakibat pada luka. Kutarik napas dalam-dalam, berusaha mengembalikan degub jantung agar normal.
"Maaf." Ucapku sambil menunduk.
Alan mengangguk pelan, kemudian berjalan melewatiku. Secepat mungkin, aku menahan lengannya. Menatap manik mata cokelat yang menghayutkan. Tatapan itu seakan bertanya-tanya tentang sesuatu.
"Bantuin gue." Aku menatap Alan dengan tatapan memohon. Seolah-olah dia adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkanku dari laki-laki bar-bar bernama Hendri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of You
Fiksi Remaja[SELESAI] Semua orang mempunyai masa lalu. Semua orang mempunyai luka. Semua orang pernah merasakan sakit hati. Aku? Aku hanya segelintir dari mereka yang merasakan apa itu rasa sakit. Aku memiliki masa lalu yang tidak baik. Aku pernah disia-siakan...