20 SoY

110 11 3
                                    

DUNIA memang sempit. Di tempat yang sama, masih ada kemungkinan dua insan bertemu. Tidak masalah jika bertemu teman atau sahabat, yang jadi masalah adalah bertemu dengan laki-laki yang mampu membuat jantung berdebar-debar seperti menuntut keluar dari tempat asal.

Aku terpaku menatap laki-laki kaku yang sibuk memainkan ponsel. Setiap tingkah, gerakan, dan tatapannya membuatku tidak mampu berkata-kata. Aku membenci perasaan ini. Perasaan aneh yang membuatku semakin gila dan tidak waras.

Aku menunduk, menatap flatshoes berwarna hitam. Dia adalah alasan mengapa jantung berdegub dengan kencang. Dia adalah alasan mengapa tubuh terasa kaku dan mati rasa. Dia adalah alasan dari perasaan aneh yang menjalar beberapa hari ini. Dia adalah alasannya. Alan adalah alasan mengapa aku bertingkah aneh.

"Bro! Udah lama?" Ezra datang dengan wajah ceria. Laki-laki itu melakukan highfive yang disambut suka cita oleh Alan, meskipun dengan wajah yang datar.

"Kenapa telat?" Tanya Alan.

"Nganterin pacar ke tempat temennya. Imam yang baik itu selalu ada buat pasangannya, hehe.." Ezra terkekeh pelan seakan kebahagiaan sederhana laki-laki itu terdapat pada perempuan bernama Indy. Tidak berbohong, tatapan mata Ezra memancarkan sinar bahagia.

Alan tidak menanggapi ocehan Ezra yang tidak jelas ke mana arah tujuannya. Dia kembali fokus menatap ponsel. Aku jadi penasaran dengan isi ponselnya. Apa yang membuat Alan terus menatap benda persegi itu?

"Dara! Lo di sini juga?" Ocehan Ezra membuatku mengalihkan pandangan ke arah laki-laki itu. Ezra mengambil langkah memutar dan duduk di sampingku. Laki-laki tersenyum sumringah sehingga menampilkan dua lesung pipi.

Aku tersenyum singkat, kemudian menjawab pertanyaan Ezra. "Manda yang ngajak gue ke sini."

"Nenek lampir samping lo itu?" Ezra melirik keji ke arah Manda, sedangkan perempuan yang dilirik terlihat menahan amarahnya agar tidak meledak di tempat penuh orang ini. "Lo kok mau sih? Mending lo berangkat bareng gue aja."

"Eh, topeng monyet! Lo sirik sama gue?! Ngajak berantem ae lo!" Manda hendak meraih tangan Ezra untuk mencakar laki-laki itu, namun, tertahan karena tidak ingin memicu kegaduhan yang berakibat pada saling adu fisik.

"Terserah gue dong." Ezra bersikap acuh dengan sikap Manda.

"Sini lo! Gue ketekin baru tau rasa!" Manda berdiri, hendak mengambil langkah untuk memberi pelajaran pada laki-laki tidak tahu diri. Namun, aku menahan lengan perempuan itu, kemudian menggeleng. Mengisyaratkan bahwa dia harus menahan amarahnya atau keadaan menjadi kacau.

Manda melepas tanganku dengan kasar. Perempuan itu kembali duduk meski dengan wajah yang memerah menahan amarah. Dia memalingkan wajah, tidak ingin menatap laki-laki pemicu marahnya. Aku menghela napas pelan melihat dua sejoli itu tertengkar kembali. Tidak bosan mereka bertengkar setiap hari? Memang tidak capek mulut itu beradu terus?

Lagi-lagi, mataku menatap Alan. Laki-laki itu tetap duduk dengan tenang. Tanpa terganggu pada pertengkaran antara Manda dan Ezra. Wajahnya datar dan tidak ada senyuman yang mengembang. Aku ingin melihat senyum Alan. Katanya, senyum Alan untuk orang spesial. Iya, pernah terbesit dibenakku untuk melihat senyum Alan, namun tidak mungkin. Tidak mungkin laki-laki itu dengan mudah memberi senyumnya untukku.

"Ra, lo udah ngechat Riko?" Manda bertanya dengan tatapan ingin tahu.

Refleks, aku melirik Alan. Laki-laki itu mengalihkan pandangan ke arahku seakan menuntut penjelasan lebih. Entah mengapa, muncul perasaan tidak ingin melukai Alan padahal belum tentu laki-laki itu mempunyai rasa yang sama. Aku tidak ingin Alan menjauh karena mengetahui bahwa aku mencintai orang lain.

Story Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang