35 SoY

101 6 0
                                    

Hati perempuan layaknya kain sutra.
Lembut, berharga, dan .. rapuh.
Seperti namanya, kain sutra tidak ingin dinomor duakan.

Para laki-laki berlomba-lomba mendapatkan kain sutra itu.
Beberapa dari mereka serakah dan egois ingin memiliki lebih dari satu.

Akhirnya, tak satupun kain sutra yang ia dapatkan.

Penyesalan tidak akan membawamu kembali padanya.
Penyesalan adalah hukuman bagimu yang berani mempermainkan hati perempuan.
Camkan itu!

•••••

"DARA mengalami depresi, Bu. Dia tidak boleh berpikir terlalu berat. Dia tidak boleh memikirkan masalah yang memicunya untuk bunuh diri." Seorang psikiater berbaju putih khas rumah sakit menjelaskan dengan detail.

"Anak saya bisa sembuh, Dok?" Ibu bertanya pada Dokter yang bernama Aldi.

"Bisa, Bu. Usahakan untuk selalu mengajak Dara berbicara. Jangan sampai Dara sendirian dan merenungkan masalah yang membuatnya ingin bunuh diri."

Ibu bernapas lega. Wajahnya menunjukkan binar harapan.

Tadi, Dokter Aldi melakukan pemeriksaan fisik dengan bertanya seputar masalahku. Tidak terlalu menjawab, aku lebih sering terdiam dan melamun.

Aku menatap Ibu. Ibu menangis. Aku merasa bersalah. Tidak seharusnya aku menjadi beban untuk Ibu.

"Yang Dara butuhkan saat ini adalah dukungan dari orang terdekatnya bahwa masih ada harapan, sesulit apapun masalahnya. Ibu harus bisa menumbuhkan semangat hidup Dara."

"Baiklah, Dok." Ibu mengangguk paham.

Dokter Aldi menyerahkan resep untuk Ibu. "Obat ini membantu Dara untuk lebih tenang. Ibu bisa menukarnya di loker satu."

"Terima kasih, Dok. Saya permisi dahulu."

Ibu merangkulku untuk bangkit. Aku tersenyum singkat kepada Dokter Aldi dan mengatakan, "terima kasih, Dok."

"Sama-sama."

Di luar ruangan, Kak Tama menunggu dengan cemas. Kakakku itu bergegas menghampiri dan mengusap pucuk kepalaku pelan.

Ibu izin untuk menukar resep di tempat yang disebutkan oleh Dokter Aldi. Aku dan Kak Tama disuruh menunggu di lantai satu.

"Tangan lo masih sakit, Dek?"

Aku mengalihkan pandangan pada perban putih yang membalut tangan kiriku. Karena aku bukan anak PMR, kemarin aku hanya mengores tanganku tanpa mengetahui letak denyut nadi. Untunglah, kepingan kaca itu tidak mengenai denyut nadi.

"Udah enggak sakit kok, Kak."

"Jangan lakuin hal bodoh lagi."

Aku tersenyum mengejek. "Lo khawatir ya?"

"Iyalah! Lo mau gue hidup sendirian tanpa saudara? Gue sih ogah. Manusia itu makhluk sosial, gak bisa hidup sendiri. Gue butuh lo, buruk rupa!"

Aku terkekeh pelan menanggapi ocehan Kak Tama. Disaat seperti ini, Kak Tama terlihat lucu dan imut.

"Jangan pernah ngerasa hidup lo gak berguna. Sekejam apapun orang lain sama lo, jangan pernah berpikir untuk bunuh diri. Lo punya gue, Ayah, dan Ibu. Lo gak perlu orang lain untuk pulang. Lo hanya perlu pulang ke rumah dan menyeritakan semuanya sama gue, Ayah, dan Ibu." Kak Tama mengusap rambutku pelan dan tersenyum.

Aku ikut tersenyum menatapnya. "Makasih, Kak."

Kak Tama tidak tahu seberat apa hidup yang kujalani. Aku bahkan tidak tahu harus melangkah ke mana. Aku hilang. Mereka meninggalkanku.

Story Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang