17 SoY

98 11 0
                                    

AKU melangkah memasuki gerbang sekolah. Hari ini matahari bersinar dengan terang memunculkan cahaya yang berwarna kuning kemerahan. Suara burung gereja yang bersiulan terdengar nyaring membuat indera pendengaran lebih peka terhadap suara-suara. Embun yang menetes di dedaunan menambah keindahan alam dan isinya.

Berbanding terbaik dengan perasaanku, ada yang mengganjal di hati. Aku tidak tahu apa itu, yang jelas perasaan ini membuat tidak nyaman di manapun aku berdiri. Kuhembuskan napas kasar. Mencoba mencari kenyamanan di setiap hembusan napas.

Nihil.

Aku tidak menemukan kenyamanan itu.

Tiga hari berlalu setelah kejadian yang tidak terduga. Aku memutuskan untuk menjauh dari laki-laki yang bernama Hendri. Memikirkan namanya saja mampu membuat bulu kuduk meremang, apalagi bertatap muka langsung? Mungkin, aku akan pingsan di tempat. Hendri membuatku berpikir berkali-kali akan sikapnya yang keterlaluan. Jangan sampai aku bertemu dengannya hari ini.

Aku melirik jam tangan di tangan kiri. Pukul 06.45 WIB. Seminggu lagi akan diadakan tes tengah semester dua. Waktu berlalu dengan cepat. Secepat hembusan angin yang menerpa kulitku dengan lembut.

Hari ini, aku tidak bersemangat sama sekali. Separuh dari diri mengatakan ada yang tertinggal. Apa itu? Aku tidak tahu. Sulit untuk mengungkapkan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain. Sudah tiga hari aku merasakan perasaan yang aneh dan absurd ini. Mencoba mencari-cari jawaban dari perasaan ini, namun, hasil yang didapat adalah nol besar.

Langkah kakiku gontai menuju kelas. Di pertigaan lorong, aku melihat Alan berjalan menuju arah yang sama. Aku menatapnya. Debaran jantung berpicu dengan cepat, sangat cepat. Badan terasa mati dan kaku. Mata tidak ingin mengalihkan pandangan selain pada sosoknya.

Di saat itu juga, Alan menoleh dan menatap balik. Beberapa detik kami habiskan untuk saling menatap. Sampai akhirnya, Alan memutuskan untuk berjalan menuju kelas. Aku menghembuskan napas pelan. Entah mengapa, rasanya sangat pedih. Seperti diacuhkan oleh seseorang yang tersayang.

Aku menggeleng kasar. Tahan! Aku tidak mencintai Alan. Aku mencintai Riko. Iya, Riko. Hanya Riko.

"Dara!"

Aku terlonjak kaget ketika bahu dipegang oleh seseorang. Aku menoleh dan menemukan Indy. Perempuan itu tersenyum manis, sangat manis. Wajahnya yang imut seperti bayi membuatku ingin mencubit pipi chubby itu.

"Indy? Lo ngapain?" Tanyaku.

"Ini." Indy menyodorkan sebuah buku.

Aku mengerutkan kening heran, kemudian mengangguk paham. Pasti itu buku Ezra. Indy ingin menitipkan sebuah buku untuk Ezra. "Bukunya Ezra ya?"

Indy menggeleng. "Bukan, tapi bukunya Alan. Tolong kasih ke dia ya?"

Aku melotot kaget. Tidak percaya dengan kenyataan yang melenceng dari dugaan. "A-alan?"

"Iya. Kenapa lo gugup gitu?" Indy memicingkan kedua matanya intens, seolah-olah mencurigai sesuatu yang aneh.

"Emm.. eng-enggak papa." Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal dengan meringis menutupi tingkahku. Aku harus bertanya sesuatu, atau perempuan itu semakin curiga akan sikapku. "Kenapa bisa di elo?"

"Itu gara-gara Ezra tadi malem ke rumah, niatnya sih mau belajar bareng, malah dia salah bawa buku. Bukunya Alan yang dibawa. Aneh, kan?" Indy tertawa pelan. Perempuan itu seakan menikmati saat-saat bersama kekasihnya. Raut wajahnya juga memancarkan kebahagiaan yang nyata.

"Oh gitu ya?"

Indi mengangguk, kemudian menarik tanganku dan meletakkan buku bersampul cokelat itu. "Gue titip ya? Jangan lupa kasih ke Alan."

Story Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang