18 SoY

93 10 6
                                    

"LO sahabat gue yang baik, Ra. Pasti lo gak keberatan kalo kita tukeran tempat duduk. Iya, kan?" Bisiknya.

Aku mengerjabkan kedua mata tidak percaya. Jika saat ini aku tidak merasakan aneh pada hati, mungkin, dengan senang hati aku mengangguk sejutu. Entah mengapa, kali ini terasa berbeda, aku tidak rela menyerahkan kursi di samping Alan untuk Manda. Aku tidak ingin Manda duduk bersama Alan. Rasanya sakit jika kedua manusia lawan jenis itu berdekatan.

"Ra! Lo kok diem sih?!"

Aku tersadar dari lamunan. "Hah? Gimana?"

Manda berdecak kesal, kemudian membisikan kalimat yang sama di telinga. Perempuan itu memandangku penuh permohonan. Hati terasa bimbang. Kutatap Bu Mira yang tengah membagi bangku pada murid lain, kemudian beralih pada Alan yang tengah sibuk bermain ponsel.

Aku menggigit bibir bawah. Menelan ludah dengan kasar, kemudian menatap Manda yang menatapku dengan tatapan puppy eyes. Jika masalah susu pisang, mungkin, aku akan terkekeh geli melihat tatapan itu. Kali ini, lain halnya.

Aku menarik napas dalam-dalam. Dengan hati yang sesak, aku mengangguk perlahan.

"Yes! Lo sahabat gue yang baik, Ra!" Manda terlihat senang dan bahagia. Perempuan itu merapikan buku-buku yang ada di atas meja. Dia tidak sabar berpindah tempat duduk dengan Alan.

Aku menatap buku-buku dengan tatapan sendu. Rasanya sedih. Aku tidak tahu penyebabnya.

"Ayo, Ra! Cepetan, nanti Bu Mira tahu." Ucapnya dengan girang.

Aku mengangguk dan menggendong tas untuk pindah tempat duduk. Alan menatapku aneh ketika aku membereskan buku-buku pelajaran. Laki-laki itu terlihat bingung dengan kegiatan yang kulakukan.

"Lo mau ke mana?" Suara berat laki-laki itu akhirnya keluar juga.

Aku menatapnya. "Pindah tempat duduk sama Manda."

Alan menghembuskan napas pelan, kemudian bersikap acuh, tidak peduli. Laki-laki itu kembali berkutat pada ponsel. Aku memejamkan kedua mata menahan rasa sakit yang menjalar di dada. Melihat Alan cuek dan dingin seakan tidak tersentuh adalah hal yang membuatku ingin mati perlahan.

Aku berdiri, sedangkan Manda dengan gesit menduduki kursi yang telah kutinggalkam beberapada detik yang lalu. Dengan pasrah, aku duduk bersama Ezra. Laki-laki itu tersenyum senang menatapku yang duduk di sampingnya.

"Gue gak masalah duduk sama siapa aja, Ra. Lagian gue lebih suka duduk sama lo ketimbang sama nenek lampir itu. Bikin sesak napas, hehe.." Ezra terkekeh pelan dengan nada yang senang. Laki-laki itu tidak keberatan jika duduk dengan siapa saja. "Ditambah lagi, lo cantik, senyum lo juga manis bikin gue diabetes mendadak."

Pletak!!

Tiba-tiba sebuah benda menghantam kepala Ezra. Laki-laki itu meringis menahan perih akibat benda keras yang mencium kepalanya.

"Duh! Sakit, Lan!" Ezra menatap sirik ke Alan, sedangkan laki-laki itu terlihat datar saja padahal telah menghantam kepala Ezra dengan ponselnya. Wajahnya terlihat tanpa dosa. Aku menghela napas pelan, sepertinya wajah Alan akan selalu datar meskipun bom terjadi di depannya.

"Kebanyakan modus lo." Elak Alan dengan tatapan datar.

"Gue gak modus, gue ngomong jujur." Ucap Ezra dengan mengelus kepala.

"Emang ya topeng monyet kebayakan modus. Dasar buaya cap monyet!" Manda berucap akan kekesalannya kepada Ezra. Kedua alis perempuan itu saling bertaut menunjukkan ketidaksukaan terhadap musuh bebuyutannya.

"Ngapain lo ikut-ikutan?" Ezra menoleh ke arah Manda dengan tatapan membunuh.

Aku menghela napas kasar. Mulai lagi perang antar tetangga.

Story Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang