07 SoY

209 18 13
                                    

AKU mendengarkan lagu dengan headset terpasang rapi di telinga. Hari terus berganti menjelajah waktu. Aku terduduk sendiri di taman sekolah. Menatap pemandangan di mana para lelaki bermain bola basket. Tatapanku terpusat pada satu orang. Dia sangat berbeda. Entahlah, aku merasa dia memang pandai menarik perhatian seseorang.

Lagu Aimer-Polaris mengalun dengan lembut. Aimer adalah penyanyi terkenal dari Jepang. Aku menyukainya karena suaranya yang merdu. Bisa dibilang aku adalah penggemar berat Aimer, namun tidak sefanatik fans alay. Iya, Aimer hanya motivasiku untuk menjadi lebih baik. Meskipun bahasa yang digunakan bahasa Jepang, setidaknya aku terhibur dengan suara Aimer yang merdu. Satu hal lagi, lagu-lagu Aimer tidak membuat gegana alias gelisah, galau, dan merana.

Aku masih menatap orang itu. Angin berhembus lembut menerpa rambut sebahu. Apa yang membuatku terus menatap orang itu? Aku tidak tahu. Aku hanya menatap apa yang membuatku tertarik.

Di kejauhan, dia tertawa kemudian mengusap peluh. Terik matahari membuat keringatnya berjatuhan, tetapi aku semakin tertarik untuk menatap lebih lanjut. Dunia memang aneh. Aku menatap seseorang tanpa alasan yang jelas. Aku rasa, virus gila sedang menyerang otak. Gelengan kepala kulakukan agar terhindar dari dia.

Aku beralih menatap buku cokelat keemasan. Beberapa hari lalu, buku ini dibaca oleh dua orang tanpa izin. Jika diingat, aku masih kesal, sangat kesal. Seolah-olah kekesalan itu naik ke ubun-ubun dan meledak menimbulkan sebuah letusan kembang api. Jika aku adalah anak umur lima tahun, mungkin akan bahagia melihat letusan kembang api. Sayang, aku berumur 16 tahun.

Aku menghembuskan napas kesal, kemudian mulai menulis. Sebelum menuliskan kata, aku menoleh ke kanan, kiri, depan, dan belakang. Berjaga-jaga jika ada orang yang berniat jail dengan membaca buku dairy-ku. Jika terjadi lagi, aku tidak akan membebaskan dengan mudah.

23 Desember 2017

Masa lalu
Aku tidak bisa bersahabat denganmu
Maaf, jika membuangmu adalah pilihanku
Karena masa lalu adalah luka terberat dalam hidup

Ditulis oleh D

"Dara!"

Tepat setelah selasai menulis, Manda muncul dengan tergopoh-gopoh. Perempuan itu terlihat seperti lari marathon. Napasnya terengah-engah. Aku segera menutup buku cokelat dan menyembunyikannya di balik tubuh.

Sayang, Manda melihat gerak-gerikku yang aneh.

"It-itu ap-apa, Ra?" Tanya Manda sambil menarik napas dalam-dalam.

"Bu-bukan apa-apa kok." Aku tersenyum manis. "Lo habis ngapain sampe ngos-ngosan gitu?"

Manda menghampiri tempat duduk di sampingku. "Itu si Ezra ngajak gelut, masak bolpoin gue diembat. Padahal gue baru beli kemaren. Kurang ajar banget itu anak!"

"Sekarang anaknya ke mana?"

"Ngilang."

"Ooh."

"Jawaban lo cuma itu doang?"

Aku mengangguk sambil fokus pada buku paket Biologi yang sengaja kubawa.

"Ck! Nyebelin lo ah."

Aku tersenyum sebagai jawaban. Setelah itu, keadaan menjadi hening. Aku terfokus pada buku paket, sedangkan Manda bermain ponsel.

Manda memang cantik. Dia dapat akrab dengan semua orang, sangat berbeda denganku. Tidak sedikit laki-laki yang menyatakan cinta pada perempuan berambut panjang itu. Jika Manda adalah orang yang supel, maka aku adalah orang yang pendiam. Sungguh, perbandingan yang sangat bertolak belakang.

Aku membenci ketika teman-teman mulai membicarakan sifat pendiamku. Sebenarnya ada perdebatan dasyat di dalam tubuhku. Aku menolak semua sifat yang ada, sedangkan kenyataan berbanding terbalik dengan harapan. Lantas, aku harus bagaimana? Tidak ada yang lebih indah dari rasa syukur. Iya, aku harus menerima apa yang ada meskipun terkadang sulit melakoninya.

"Dara!!" Manda mengguncang tubuhku kuat.

"Iisshh, apaan sih?! Gue lagi baca, Man." Aku menatap Manda dengan kesal.

Oh ya! Aku adalah tipe orang yang tidak ingin diganggu jika sedang fokus. Aku benci ketika orang-orang merusak acara yang telah terancang dengan indah. Mungkin, harus aku benahi sifatku itu.

"Itu, Ra!"

Aku mengerutkan kening tidak mengerti. "Itu apaan?"

"Alan!"

Aku menoleh ke arah lapangan basket. Di sana, ada Alan dan teman-temannya termasuk Ezra. Entah bagaimana laki-laki itu muncul setelah Manda mati-matian mencarinya.

Mata Manda berbinar. Aku mengamati Manda dengan seksama. Ada setitik rasa tidak suka ketika sahabatku menatap Alan dengan penuh cinta. Sebenarnya, ada apa denganku? Tidak mungkin jika aku menyukai Alan, kan? Sangat tidak lucu jika itu terjadi.

"Alan ganteng ya, Ra?"

Aku beralih menatap segerombolan laki-laki yang tengah beristirahat di tepi lapangan basket. Mereka tertawa dengan ringan, namun aku lebih tertarik pada tawa seseorang.

"Ra, gue suka Alan, pake bangeeett."

Aku menatap perempuan di sampingku dengan perasaan yang campur aduk. Rasa sedih, senang, tidak rela, semua bercampur menjadi satu. Aku tidak mengerti mengapa rasa ini muncul. Apa yang terjadi?

"Ra! Lo kok malah liat gue sih?"

Aku terbangun dari lamunan. "Hah?"

Manda memutar bola mata malas. "Hih, nyebelin! Udah ah, gue ke lapangan basket dulu. Mau nangkep Ezra, sekalian modus hehe.."

Aku tersenyum miris. Hati berkata untuk mencegah, namun logika mengatakan untuk berdiam diri. Dalam diri yang tidak baik, aku berharap kenyataan yang terpikirkan tidak akan terjadi. Aku tidak ingin kehilangan seseorang yang berharga.

"Lo mau ikut, Ra?"

Aku menggeleng sambil tersenyum manis. "Enggak."

"Ya udah, doain gue ya.. biar sukses pdkt."

"Siap!" Aku mengacungkan jempol ke arah Manda.

Setelah kepergian Manda, aku terdiam. Dunia terasa aneh sejak nama Alan merasuk dalan kehidupan. Entahlah, aku merasa dahulu tidak seperti serumit ini.

Alan adalah temanku ketika SMP. Aku sekelas dengan Alan ketika kelas 2. Sifat Alan berbeda dengan sekarang, sedikit. Dahulu, Alan sangat cuek. Bahkan dalam setahun ketika dia tertawa dapat dihitung menggunakan jari. Dia jarang berbicara, kalaupun berbicara sangat singkat dan padat.

Berbeda dengan sekarang. Alan yang sekarang lebih hangat. Dia bisa tertawa terbahak-bahak ketika bersama gerombolan teman-teman sekelas. Namun, dia tetap cuek kepada perempuan. Entah mengapa sifatnya yang sekarang menjadi menarik untukku.

Aku menatap Manda yang tengah adu mulut dengan Ezra. Gerak-gerik perempuan itu sangat jelas mengatakan bahwa keberadaannya bukan berdebat dengan Ezra, melainkan agar lebih dekat dengan Alan. Aku ingin berada di posisi Manda, bisa dengan mudah berdekatan dengan Alan. Astaga! Apa yang kupikirkan? Aku sudah gila!

Aku menaikkan volume headset di telinga. Mengalihkan pikiran yang mulai aneh dan tidak baik. Tidak mempedulikan keadaan yang membuat hati terasa nyeri tiba-tiba. Fokus kembali ke arah buku biologi, membaca dengan seksama. Sebentar lagi ujian semester akan diadakan. Materi yang harus dikuasai sangat banyak, termasuk biologi.

Tiba-tiba ada yang menyentuh pundahku dengan lembut. Aku menoleh ke arah seseorang. Dia tersenyum tipis. Aku melepaskan penyumpal telinga yang membuatku tidak menyadari sekitar.

"Hai." Ucapnya.

Aku sedikit merasa aneh dengan laki-laki ini. "Hai."

"Lo tau gue, kan?"

Aku menatapnya datar. Aku tidak mengenal laki-laki di hadapanku. Dia siapa? Datang dari mana? Dengan siapa? Aku tidak tahu. Toh, aku tidak peduli juga.

"Emang lo siapa?"

•••••

Story Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang