26 SoY

97 10 1
                                    

GELAP. Tidak ada cahaya yang dapat dijadikan panduan jalan. Aku meraba-raba sekitar, berusaha meraih apapun untuk dijadikan patokan. Gelap, sunyi, dan sepi. Tidak ada sedikitpun celah untuk bersembunyi.

Aku terus berjalan menapaki setiap lorong hingga menemukan setitik cahaya terang. Sebuah senyuman mengembang di bibirku. Kakiku berlari sekencang-kencangnya menghampiri sumber cahaya. Cahaya itu membawaku ke tempat aneh. Tempat di mana banyak pohon besar menjulang tinggi.

Hutan. Sekelilingku hutan dengan pepohonan lebat nan tinggi. Aku keluar dari kegelapan, namun, terdampar di sebuah hutan asing. Hutan dengan puluhan pohon yang berumur ratusan tahun itu membuatku bingung menentukan arah dan tujuan.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling hutan. Di bagian barat, aku melihat seorang laki-laki bertudung hitam membawa kapak yang besar. Saking besarnya, kapak itu terseret-seret di atas permukaan tanah. Laki-laki itu melangkah perlahan dengan senyum mengerikan.

Tanpa berpikir panjang, kakiku berlari menjauhi mahluk menyeramkan itu. Sekuat tenaga, aku berlari kencang. Menghiraukan jutaan ranting menyayat kaki. Perih, namun, rasa sakit ini tidak sebanding dengan rasa takut ketika bertemu laki-laki bertudung hitam itu.

Tiba-tiba, laki-laki itu muncul di depanku. Langkah kakiku terhenti. Sebuah darah mengalir dari mulutnya, disertai tangan penuh luka. Sebuah tawa mengerikan mengelegar di hutan ini. Aku menutup telinga, tawa itu memekakkan.

Secepat kilat, laki-laki bertudung hitam itu berdiri tepat di depanku. Dalam hitungan detik. Apakah dia berteleportasi? Dengan wajah yang tertutup setengah, dia berkata dengan nada tajam dan menusuk. "Milikku."

Sebuah pisau menghunus perutku dengan cepat. Bau anyir dan asin mulai menyeruak. Aku tergeletak tidak berdaya. Berusaha bertahan dengan meraih apapun, tetapi, laki-laki itu membuatku tidak berkutik.

"Milikku." Setelah kata itu keluar dari bibirnya, pisau itu kembali menghunus perutku berkali-kali.

Aku membuka mata lebar. Napasku  terengah-engah. Keringat bercucuran deras. Aku menghela napas panjang.

Mimpi.

Hanya mimpi.

Mimpi yang terasa nyata. Apa aku lupa berdoa hingga mendapatkan mimpi mengerikan itu? Oh Lord! Aku akan berdoa sebelum tidur mulai hari ini.

Aku menatap sekeliling kamar. Kamar ini masih sama. Tidak ada hutan. Tidak ada kegelapan. Sinar mentari memasuki celah jendela. Aku melirik jam dinding merah yang mengantung manis ditembok. Pukul 05.55 WIB.

Tok! Tok! Tok!

"Dara, bangun sayang! Mandi!" Suara Ibu terdengar di depan pintu. Dengan langkah lunglai, aku menghampiri pintu dan membukanya.

Ibu berdiri dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Wajah paruh baya itu terlihat mengerikan dengan jutaan kekesalan. "Dara! Kamu terlambat. Mandi sekarang!"

Aku mengangguk paham. " Iya, Ibu. Dara mandi sekarang."

Setelah itu, Ibu beranjak dari kamarku. Aku menghela napas pelan, untung Ibu tidak menyiramku dengan air bekas cucian. Aku bisa megab-megab seperti ikan lohan jika disiram air menjijikan itu.

Ddrrrtt ddrrtt

Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. Aku berjalan meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Ternyata, pesan dari nomer yang tidak dikenal.

+6289xxxxxx
Jumat, pukul 10.10

Dahiku berkerut tajam membaca pesan tidak jelas itu. Maksudnya apa?

Story Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang