10 SoY

154 16 1
                                    

HUJAN tidak ingin berhenti seolah-olah paham bahwa waktu sedang bersedih. Air jatuh menimpa aspal. Awan hitam menutupi cahaya hingga menyisahkan kegelapan. Sepanjang gang menuju rumah terlihat sepi dan sunyi. Menakutkan dan menyeramkan, tetapi akal sehatku tidak berfungsi. Kesedihan tengah meliputi hati yang lara. Mengorek kembali luka lama yang tidak tahu kapan akan sirna.

Angin berhembus melewati tubuh yang berbalut seragam putih abu-abu. Dingin merasuk hingga menyentuh tulang. Aku tidak peduli dengan hujan yang membasahi tubuh. Setidaknya dengan adanya hujan aku tidak terlihat menangis.

Aku sampai di sebuah rumah berwarna merah jambu. Di sinilah aku dibesarkan. Memulai masa-masa indah dengan keluarga. Namun, tidak satupun dari orang tuaku tahu bahwa anak perempuannya telah terluka parah. Luka yang tidak kasat mata.

Tok.. tok.. tok..

Kuketuk pintu yang berwarna merah itu. Tidak butuh waktu lama agar pintu terbuka. Wajah seorang wanita paruh baya memandangku dengan sorot kekhawatiran. Tubuhku yang basah dari atas hingga bawah membuatnya linglung.

"Dara! Kamu kenapa, Nak? Mengapa kamu basah kuyup seperti ini?" Dia adalah Ibuku. Ibu yang selalu ada untuk anaknya. Ibu yang tidak pernah berhenti menyayangi meskipun banyak kesalahan yang kuperbuat.

"Dara, mengapa kamu diam saja? Kamu bisa berteduh di minimarket dulu atau menelpon Ibu, biar Ibu yang menjemputmu, Nak." Ibu mengusap-usap tanganku yang telah membiru karena kedinginan.

Aku terdiam menatap Ibu. Dia adalah wanita terhebat dalam hidupku. Harta paling berharga yang tidak pernah tergantikan oleh apapun. Di teras rumah ini, aku lemah di hadapan Ibu. Wajahnya yang teduh membuatku mengerti bahwa tempatku pulang hanyalah kepadanya. Bahkan air mata yang jatuh tidak dapat menjelaskan betapa aku membutuhkan kehadiran Ibu.

"Dara, mengapa kamu menangis, Nak? Ada yang berbuat jahat kepadamu?" Ibu memelukku erat. Dia tidak mempedulikan seragamku yang basah akan membuatnya basah juga.

Aku menangis dipelukan Ibu. Meraung seolah Ibu adalah tempat ternyaman untuk mengeluarkan keluh kesah. Ibu tampak bingung dengan sikapku yang tidak seperti biasanya. Aku tidak pernah menunjukkan sisi lemahku kepada Ibu. Namun, kali ini aku lemah, menyerah, dan pasrah.

"I-ibu sa-sakit." Ucapku sambil mengeratkan pelukan pada Ibu. Tangisku yang pecah dan tidak terbendung membuat perkataan yang keluar terbata-bata.

"Apa yang sakit, Nak? Kamu terluka, huh? Bicara pada Ibu, Ibu akan mengobatinya." Ibu mengelus rambutku yang basah. Tidak sedikitpun pelukannya melonggar, malah semakin erat, seakan menyalurkan kehangatan.

Aku lemah. Aku pulang dengan hati yang berdarah. Ibu adalah tempatku pulang di saat seluruh dunia mengacuhkan, membuang, dan melemparku bagaikan sampah rongsokan.

•••••

Tiga hari berlalu dengan menyedihkan. Aku harus berbaring di kamar tanpa sanggup melakukan apapun. Bukan karena hujan-hujanan yang menyebabkan tubuh sakit, melainkan karena pikiranku yang tidak bisa diajak kompromi. Rasa sakit dihati ternyata berujung pada fisik yang lemah.

Kata dokter, aku sakit karena banyak pikiran sehingga memerlukan istirahat. Ibu selalu bertanya tentang apa yang mengganggu pikiranku, tetapi tanggapan yang keluar dari bibirku hanya 'aku baik-baik saja, Bu'. Aku tidak ingin Ibu khawatir dengan keadaanku yang rusak parah. Biarlah aku yang merasakan dan menyimpan di lubuk hati terdalam.

Hari ini, kuputuskan untuk berangkat sekolah. Tiga hari izin sekolah tidak membuatku sembuh, melainkan semakin teringat akan luka lama. Lebih baik berkumpul dengan orang-orang baru daripada mengurung diri dengan luka yang kejam menyakiti.

Story Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang