21 SoY

99 12 5
                                    

BU MIRA menerangkan materi Bahasa Indonesia di depan kelas. Semua murid dengan hikmat memperhatikan wanita paruh baya itu. Lain halnya denganku, bukannya memperhatikan Bu Mira, aku lebih tertarik memperhatikan laki-laki kaku yang duduk di sampingku.

Sesekali, aku melirik ke arahnya. Mencuri-curi kesempatan agar dapat memperhatikan tingkah Alan. Ternyata, laki-laki itu mempunyai kebiasaan menopang dagu ketika memperhatikan pelajaran. Ini adalah hal yang baru kuketahui. Setiap tingkahnya, membuatku tertarik dan ingin mendalami lebih lanjut.

Alan. Satu nama yang mampu membuatku berpikir berkali-kali tentang rasa ini.

"Mau sampe kapan lo liatin gue?" Alan menoleh ke arahku dengan tatapan datar.

Gelagapan.

Iya, aku salah tingkah karena kepegrok memperhatikan laki-laki itu. Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal, kemudian mengalihkan pandangan ke depan dengan gugup.

"Si-siapa juga yang liatin lo? Ge'er." Aku pura-pura menulis materi yang ada di papan tulis. Menyembunyikan semburat merah yang tiba-tiba muncul di pipi.

"Lucu."

Sontak saja aku menoleh ke arah laki-laki itu. Menatap mata cokelat yang menghayutkan. "Tadi lo bilang apa?"

"Enggak ada siaran ulang." Alan tersenyum tipis, sangat tipis. Jika tidak menajamkan penglihatan, tidak mungkin aku melihat senyum setipis kertas itu.

Alan tersenyum?

Tidak mungkin! Pasti aku salah melihat. Tadi bukan senyum, melainkan ejekan. Alan berusaha mengejek dengan menampilkan cengiran konyol tetapi mirip dengan senyuman. Hah! Aku sudah gila. Mengapa laki-laki itu membuatku gila seperti ini?

Aku melirik ke arah Alan. Laki-laki itu sibuk menatap papan tulis dengan dagu yang tertopang pada satu tangan. Datar. Apakah tatapan itu selalu datar? Aku menghela napas pelan, kemudian memperhatikan Bu Mira dengan hikmat.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Empat menit.

Lima menit.

Shit! Tidak ada sedikitpun materi yang terserap. Rasanya ingin terbang dari tempat aneh ini.

Lagi-lagi, senyum Alan terngiang-ngiang di kepala.

Iya! Kali ini, senyuman setipis kertas yang Alan berikan tadi mengganggu pikiranku. Oh tidak! Aku tidak waras untuk senyuman itu. Kugelengkan kepala kencang, kemudian memeganginya agar tidak lagi memikirkan hal yang tidak berguna. Aku harus fokus ke pelajaran. Tidak boleh memikirkan hal lain!

"Tadi lo senyum, Lan?" Aku membekap mulut yang lancang berucap tanpa seizinku. Gara-gara rasa kepo yang tinggi, mulutku tidak dapat dikontrol dengan baik.

"Hmm?" Alan menoleh ke arahku dengan tatapan datar. Laki-laki itu menaikkan satu alis sebagai tanda untuk menuntut penjelasan lebih. "Tadi lo bilang apa?"

Aku berdecak kesal. Menyesal karena telah bertanya. Bukannya menjawab, malah bertanya balik. Membuat malas saja. "Enggak ada siaran ulang!"

"Ya udah."

Untung ganteng! Kalo enggak udah gue gorok itu leher!

Aku menggerutu dalam hati. Mengucapkan sumpah serapah pada seseorang yang duduk di sampingku. Aku tidak mengerti, mengapa Manda mencintai laki-laki kaku yang tidak ketulungan ini. Tidak ada yang istimewa dari Alan, yang ada malah membuat naik pitam.

Drrrttt.. drrttt..

Ponselku bergetar. Dengan cepat, aku membukanya dan menemukan sebuah pesan dari seseorang yang menyebalkan.

Story Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang