04 SoY

229 35 25
                                    

PUPIL mataku melebar menangkap seseorang yang berdiri tegak di depan wajah. Dadaku bergemuruh, meneriakkan sebuah rasa yang campur aduk. Luka, cinta, rindu, dan sesak beradu menjadi satu. Bibir menjadi kelu, tidak mampu mengungkapkan kata. Dunia ini sempit. Sangat sempit hingga aku harus bertemu dengan luka lama.

"Hai, Dara.. apa kabar?"

Aku terdiam. Bahkan mendengar suara itu mampu meruntuhkan segala benteng pertahanan. Kokoh dan kuat tidak lagi berarti karena kelemahan sebenarnya ada di sini.

Terjatuh bukan keinginanku. Jatuh cinta bukan rencana yang pernah terpikirkan. Untuk seseorang yang kucintai, melupakan bukan hal yang mudah. Luka-luka itu teramat melekat pada hati, meskipun mencoba menghilangkan.

Kak Alfa mengibaskan tangan di depan wajahku. Laki-laki itu tersenyum hangat, kemudian terkekeh pelan. Aku merindukan senyuman itu. Senyuman yang dahulu mampu membuat hari terasa indah.

"Dara?"

"Eh?" Aku gelagapan, kemudian melepas headset yang ada di telinga.

Lagi-lagi Kak Alfa tertawa ringan, kemudian tersenyum.

"Lo gak pernah berubah."

Aku tidak mampu lagi berkata-kata. Semua pertahanan yang kubangun dengan susah payah, ternyata hancur dalam satu detik. Merasakan sesak melihat sebuah senyuman yang tidak lagi untukku. Aku hampir sampai tempat tujuan, namun tergagalkan oleh kehadiran seseorang. Dia teramat istimewa untuk disia-siakan untuk menjadi luka.

Daun yang bergesekan tidak ingin ikut campur dalam kisah rumit ini. Aku hidup dengan luka-luka dan rasa sakit yang tidak pernah usai. Seperti air, luka itu mengalir setiap hari hingga menjadi kebutuhan hidup. Aku terluka, namun aku mencintainya.

"Ra.." ucapnya.

Sebuah panggilan yang mampu membuatku tak bisa bernapas. Kak Alfa mempunyai suara yang menjadi lagu favoritku. Entah akan tergantikan atau malah bertahan selamanya.

"I-iya?"

Kak Alfa tersenyum. "Terima kasih untuk semuanya, semua hal yang lo berikan dulu."

Dulu. Iya, dahulu. Sebatas masa lalu dan tidak akan terjadi kembali. Aku ingin marah, mengutarakan semua rasa sesal ketika luka itu ditorehkan. Namun, aku runtuh ketika berhadapan dengan dia. Dia yang mengisi hati dan pikiran.

"Maaf, untuk semua luka. Gue gak pernah bermaksud untuk memberi harapan palsu."

Huh, tidak bermaksud? Sudah jelas-jelas semua terjadi atas kehendaknya. Kak Alfa tahu, bahwa dia tidak akan menjatuhkan hati padaku. Tetapi, mengapa? Mengapa dia harus mempermainkan hati yang lembut dan rapuh? Harapan bukan sekedar mainan untuk lelucon. Harapan yang dia berikan mampu membuat aku tumbuh dan hidup, namun harapan itu juga yang mematikan rasa dalam sekejab.

Aku mengangguk pelan. "Gue tahu."

"Harusnya gue gak pernah deketin lo, sedangkan hati gue ragu untuk mencinta. Maaf."

Aku terkekeh pelan. Semua yang terjadi adalah rahasia paling lucu. Sangking lucunya, aku tertawa dengan hati yang perih.

"Dan gue hanya pilihan ketika lo bosan?"

Kak Alfa menggeleng pelan. "Lo adalah perempuan yang bisa buat gue suka sama lo."

"Itu dulu, kan?" Aku tertawa miris, rasa ini semakin menyiksa dada.

Kak Alfa terdiam. Laki-laki itu tidak mempunyai jawaban atas pertanyaanku. Lagi-lagi rasa sesak itu datang, menanamkan perih sayatan luka. Aku ingin menangis. Aku juga perempuan yang lemah dan mudah menangis. Meski air mata berada di sudut kelopak mata, aku tidak ingin hujan turun di pipi. Aku kuat! Tahan sebentar lagi, aku tidak ingin menangis dihadapannya.

"Lo baik, Kak. Lo datang disaat luka hati gue perih, kemudian lo memberi harapan-harapan akan sebuah jalan, bahwa aku bisa melaluinya. Lo selalu ada buat gue, tapi itu dulu."

"Ra, kalo lo butuh gue, gue masih ada kok."

Aku tersenyum manis, berusaha menutupi luka. "Terima kasih, tapi gue gak mau memupuk hati gue dengan harapan yang tidak nyata."

Kak Alfa menghembuskan napas kasar. Laki-laki itu seperti menahan kesabaran agar tidak keluar dari batas maksimal. Aku mengerti itu. Terjebak pada keadaan di mana masa lalu diulang adalah sakit yang nyata. Aku terkungkung dalam situasi tersebut.

"Lo ngapain di sini, Kak?"

Aku lebih memilih mengalah. Terkadang mengalah adalah cara terbaik untuk memahami bahwa menghancurkan hubungan yang dahulu dekat adalah perbuatan tidak baik. Tidak hanya aku, tetapi Kak Alfa juga merasa tidak nyaman akan permasalahan masa lalu. Biarlah masa lalu menjadi cerita milik kita berdua. Tentu bukan masa depan.

Kak Alfa adalah mahasiswa di suatu universitas. Kedekatan aku dengan Kak Alfa terjadi di akhir kelas 10 di mana laki-laki itu harus meninggalkan masa SMA demi melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Tempat baru, suasana baru, dan orang baru ternyata membuat Kak Alfa memilih menjatuhkan hati pada teman kampusnya.

Yang aku sesali adalah, mengapa Kak Alfa tidak penah jujur tentang rasanya yang telah berubah? Laki-laki itu malah membiarkanku memupuk harapan berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Tanpa kepastian, seperti tergantung pada harapan palsu. Tanpa di sangka, tanpa angin dan hujan, Kak Alfa menjalin hubungan dengan perempuan lain. Kata orang, dia dekat denganku, tetapi jadiannya sama yang lain.

"Gue diundang buat rapat alumni."

"Oh."

Tidak ada pembicaraan yang terjadi lagi. Namun, kejadian selanjutnya membuat hatiku hancur berkeping-keping.

"Alfa?" Ucap seorang perempuan cantik dengan senyum yang manis.

"Iya?"

"Aku laper, kita makan yuk."

"Iya." Ucap laki-laki itu. "Oh, kenali. Dara ini Hilda pacarku, Hilda ini Dara."

Bagaimana keadaan hatiku sekarang? Tidak baik, benar-benar tidak baik. Aku ingin menangis, rasa sesak ini menyakitkan. Mengetahui orang yang kamu sayang memperkenalkan pacarnya kepadamu adalah hal menyakitkan. Aku ingin lari sekencang-kencangnya, melampiaskan rasa yang kian menusuk tajam.

"Hilda." Perempuan itu tersenyum dan mengulurkan tangan kepadaku.

Aku melihat tangan itu, tangan yang putih mulus tanpa noda. Aku tidak bisa melakukan apapun. Air mataku sudah berkumpul pada ujung mata.

Terbesit dalam otak untuk menyelakai tangan mulus itu, namun sisi kemanusiaanku masih berjalan. Aku tidak bisa menghancurkan sumber kebahagiaan orang lain, bahkan hidup orang yang kucintai? Hah! Apakah hidup adil? Aku terluka di sini, terluka dan tertatih menata langkah baru, sedangkan dia bermesraan dengan yang lain.

Dengan gerakan lemah, aku menyambut uluran tangannya. Sebuah senyuman menandakan bahwa aku ahli dalam bersandiwara.

"Dara."

Aku hancur dalam memori usang. Aku tidak lagi bermakna dalan sebuah tulisan bertinta hitam. Dia tidak lagi sama. Dia sudah bahagia bersama pilihannya. Sedangkan aku? Aku masih di sini, memandangnya dengan segala keterkejutan akan sosok istimewa. Aku hilang bagaikan debu tanpa pendamping.

Luka itu membekas membentuk lingkaran kesakitan. Menawarkan sebuah bahagia, namun tersisa luka. Mengapa aku menyedihkan? Apakah aku tidak pantas untuk bahagia? Untuk cinta, aku menyerah. Dia bahagia bukan untukku, melainkan untuk perempuan lain.

•••••

Story Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang