~Oori jibeh weh watni weh watni weh watni. Ggot chajuruh watdanda watdanda watdanda. Moosun ggotul chajuruh watnunya watnunya. Yeji ggoul chajuruh watdanda watdanda~
Aku dapat melihat wajah ceria anak-anak kecil di depanku yang baru selesai menyanyi. "Hore!!! Kalian hebat!!!" Pujiku sambil menebar senyum. Tidak lupa memberi tepuk tangan kepada murid-murid TK ku yang sangat menggemaskan.
Betul, tebakan kalian benar. Aku adalah seorang guru TK internasional yang berada di tengah kota Seoul. Memang tidak setiap hari aku berada di sini untuk mengajar, hanya dua kali dalam satu minggu sebab mengajar pekerjaan utamaku.
Aku sangat menyukai anak kecil. Jadi itu alasan kuat mengapa aku sekarang berada bersama anak-anak kecil di sini sebagai guru tambahan.
Bertemu anak-anak kecil dengan segudang perilaku polos mereka mampu membuat hidupku sedikit lebih berwarna. Menghilangkan sejenak rasa kesepianku.
Melihat mereka, mengingatkanku pada seorang anak kecil yang bahkan belum pernah aku jumpai. Aku hanya dapat membayangkan jika aku dapat bertemu dengannya. Melihat tumbuh kembangnya dari bayi hingga dewasa. Menangkap semua momen-momen penting.
Namun semua harapanku harus sirna begitu saja.
"Valerie, bisakah kau ke ruangan yayasan dan mengurus murid baru? Aku akan menggantikanmu di sini," ucap salah satu guru lain, membuat aku terbangun dari lamunan. Aku mengangguk sambil tersenyum sebelum bergegas pergi ke ruang yayasan.
Sesampai di ruangan tersebut, aku bertemu dengan sesosok anak perempuan. "Hai, pasti namamu Jiya." Anak kecil yang berada di sambil Ketua Yayasan itu mengangguk kecil. Ia terlihat begitu malu. Kepalanya kembali menunduk setelah merespon pertanyaanku.
Rambutnya panjang berwarna hitam, kontras dengan kulitnya yang berwarna pucat. Poni yang seperti dora membuat dirinya tampak begitu imut, tidak lupa dengan pita merah muda yang ia pakai.
"Kau sungguh menggemaskan," pujiku sambil mengusap kepalanya. "Dimana kedua orang tuamu?" Tanyaku bingung. Biasanya selalu ada yang mendampingi anak sekecil ini, apalagi di hari pertamanya ia bersekolah. Aku menatap matanya menunggu jawaban. Namun yang ku dapatkan adalah perubahan matanya yang menjadi sendu.
Aku paham. "Tidak boleh bersedih. Ini hari pertamamu, teman-teman baru sudah menunggu kedatanganmu." Pungkasku menyemangatinya. Lantas menggandeng tangan mungilnya berjalan menuju kelas setelah berpamitan dengan Ketua Yayasan.
Kembali ke kelas, aku mengamati Jiya yang kini tersenyum malu-malu memperkenalkan dirinya di depan kelas. "Malangnya anak ini, hari pertama bersekolah tapi tidak ada yang mengantar. Orang tuanya sangat keterlaluan, tega-teganya membiarkan anak yang menggemaskan ini sendirian ke sekolah," gumamku dalam hati.
Hingga kelas berakhir, aku memperhatikan murid baruku itu. Ia begitu tenang mengikuti kelas. Aku sama sekali melihatnya berinteraksi dengan anak yang lain. Ku rasa anak itu begitu pemalu.
Tiba-tiba nada dering ponselku berbunyi. Tubuhku terperanjat kaget. Aku meraih ponselku, melihat layarnya yang tertera nama Pak Han. Han Eun Gyu.
Astaga!
Aku memegang kepalaku. Bagaimana bisa aku melupakannya?! Rasanya seperti Jiya menarik perhatianku. Dengan segera aku berlari keluar dari gedung TK ini.
Hampir saja aku melupakan pertemuan penting dengan klienku. Untung saja Pak Han menelponku untuk mengingatkan, kalau tidak pasti ayah akan sangat marah padaku jika melewatkan klien yang akan memberikan projek besat pada perusahaan.
Yang sudah ku katakan, menjadi guru TK bukanlah pekerjaan utamaku, aku terbang jauh-jauh dari Indonesia hingga ke Korea untuk menjalankan salah satu bisnis kedua orang tuaku serta menamatkan kuliahku. Kemudian setelahnya aku menjalankan bisnis keluargaku dalam bidang furniture.
Terhitung 6 tahun lebih aku hidup di Korea, semenjak kedatangan pertama kaliku. Jujur aku sangat merindukan Indonesia. Tapi, apa boleh buat? Ini merupakan keputusanku untuk menjadi lebih mandiri. Walaupun tidak sepenuhnya. Karena pada akhirnya aku kerja di perusahaan keluargaku sendiri.
Aku memasukkan kode apartemenku dan langsung menuju kamar. Membersihkan tubuhku setelahnya merebahkan badan yang terasa sangat pegal pada ranjang kesayanganku. Berusaha memejamkan mataku yang sudah sangat berat.
Tiba-tiba, Jiya terlintas pada pikiranku. Mengapa anak itu begitu menggemaskan, ya Tuhan? Rambutnya panjang seperti rambutku. Jika dilihat-lihat... Wajah Jiya mengingatkanku pada seseorang. Aku menggelengkan kepalaku pelan.
Tidak, tidak.
***
Rasa bersalah menghampiriku, bagaimana tidak? Hari ini adalah hari pertama anakku bersekolah tetapi aku harus melewatinya karena ada meeting yang harus ku hadiri saat ini. Jiya pasti sangat kecewa padaku.
Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku, jarum pendeknya menunjuk ke angka 10. Syukurlah kegiatan rapat membosankan ini sudah selesai. Aku membenarkan dasi yang kupakai lalu bangkit dari bangku yang sudah kududuki sejam terakhir. Sontak semua pegawaiku membungkukkan badan mereka ketika aku berjalan keluar ruangan.
Menjemput Jiya dari sekolah adalah satu-satunya yang terlintas dibenakku saat ini. Aku duduk di bangku penumpang, membiarkan supir pribadi membawa mobil mewahku berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan kota ini.
Sepanjang perjalanan, aku tidak ingin membuang waktu. Maka aku tetap harus membaca beberapa dokumen penting. Setelah 15 menit berkendara, mobil yang ku tumpangi berhenti di depan sebuah gedung.
Aku meletakkan tablet yang ku pegang, melepaskan jas yang ku pakai sebelum keluar dari mobil.
"Daddy!" Teriakan yang tak asing untuk indera pendengaraanku. Siapa lagi kalau bukan Jiya, putriku tersayang. Jiya berlari ke arahku dan memberiku pelukkan singkat.
Aku menggendong dirinya masuk ke dalam mobil. "Jadi, bagaimana hari pertama Princess Daddy di sekolah?" Tanyaku sambil mengelus surai hitamnya. Jiya duduk di sampingku, aku mengambil alih tasnya dan diletakkan di bawah kaki.
"Jiya bertemu banyak teman, Dad. Jiya sangat malu tadi saat perkenalan diri tapi teman-teman yang lain memberi semangat." Jawabnya disungguhi senyuman manis yang terukir pada wajahnya. Ia sangat gembira rupanya.
"Benarkah?" Tanyaku antusias.
Ia menganggukkan kepalanya. "Ah, iya, Daddy! Jiya juga bertemu dengan Ibu Guru cantik tadi, namanya..." Jiya menggantungkan kalimatnya dengan dahinya yang mengerut. Tak lama, ia mengerucutkan bibir mungilnya itu, "Jiya lupa menanyakan namanya, Dad."
"Jiya akan bertemu dengannya lagi besok, jadi tak usah bersedih, oke? Ingat, nanti Jiya langsung makan lalu tidur siang dengan Bibi Yeri. Daddy harus kembali ke kantor." jelasku, ia hanya menunjukkan kedua ibu jarinya lalu tersenyum. Merebahkan tubuhku di kursi seraya melihat keluar jendela.
"Rambutnya juga panjang seperti Jiya. Bedanya, Jiya berwarna hitam sedangkan rambutnya sedikit kecokelatan." Jelasnya sangat pelan namun aku masih bisa mendengarnya. Aku tidak meresponnya.
-Tbc-
Telah direvisi.
Tanda *** adalah tanda pergantian POV.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONNECTED [end]
Fanfiction[BOOK I] [COMPLETED] Valerie Johnson, wanita kelahiran Indonesia yang berusaha hidup mandiri di negeri ginseng, yakni Korea Selatan. Beberapa tahun mengenyam pendidikan di salah satu universitas ternama disana membuatnya lupa dengan tanah kelahirann...