Chapter 8☑️

5.8K 562 36
                                    

Don't forget to give a vote⭐️

Kakiku melangkah masuk ke rumahku sambil menggenggam tangan putri kecilku diiringi Vally yang berada sejajar denganku.

Vally.

Panggilanku untuknya. Terdengar menggemaskan bukan? Aku menyukai panggilan itu.

Hari ini cukup melelahkan, menghabiskan waktu bersama Jiya dan Vally. Kami terlihat seperti keluarga bahagia yang minim konflik. Sebuah keluarga kecil yang lengkap; Ayah, Ibu, dan Seorang Putri.

Aku bahagia melihat putriku yang bahagia. Diasudah tidak terlihat kesepian seperti dulu. Sekarang ada Vally yang senantiasa bersamanya, memberi segala kasih sayang dan perhatian layaknya ibu kandung.

Tak ku sangka, Jiya akan sangat akrab bahkan lebih dengan Vally. Di waktu yang lalu, dia merupakan gadis kecil yang sangat pemalu dan tertutup, enggan memberikan perhatian ke orang sekitarnya.

Semua berubah ketika Jiya bertemu Vally.

Aku berharap agar keadaan selalu seperti ini. Melihat putriku bahagia serta kelak memiliki seorang ibu yang bisa menerima keberadaan Jiya.

Mungkin aku sudah menemukannya sekarang, yaitu wanita yang sedang menyiapkan makan malam untukku dan Jiya. Dengan gerakan lincah, Vally kesana kemari meletakkan makanan yang sudah matang ke meja makan. Dia terlihat begitu terbiasa berada di dapur.

Rambut yang ia ikat menjadi messy bun membuatnya terlihat sangat cantik serta riasan tipis di wajahnya.

Aku membuat semur daging, ini makanan dari Indonesia. Semoga kalian suka," ucapnya lalu duduk menyusul kami yang sedari tadi menunggu di meja makan.

Penasaran dengan masakannya, aku mulai memakan masakannya. Vally menatapku dan Jiya bergantian, menunggu respon yang akan kami berikan. Lidahku sempat kaget menerima masakan Indonesia untuk pertama kali.

"Ini..." Kataku menggantung.

"Sangat lezat, Bu!" Sosor Jiya, dia sependapat denganku. Makanan ini sangat enak! Aku yakin dia jago dalam masalah di dapur, hmm bagaimana masalah di dalam kamar?

"Benarkah?" Tanyanya dengan mata yang berbinar.

Aku melirik Jiya. Putriku menganggukkan kepalanya. "Jiya tidak berbohong. Lain kali masakan aku ini lagi, ya?"

"Tentu, Jiya. Ah, aku senang kalian menyukai masakanku."

***

Aku memandang ke arah taman yang berada di belakang rumah Jimin melalui jendela besar. Air hujan turun dengan deras membasahi permukaan tanah yang ditumbuhi rerumputan hijau.

Terjebak di rumah Jimin hingga pukul sembilan malam karena hujan di luar sana yang enggan berhenti sedari tadi, malah bertambah deras diikuti suara gemuruh petir.

Jimin sedang mengantar Jiya ke kamarnya untuk tidur mengingat hari semakin malam, sedangkan aku menunggunya di bawah ditemani secangkir coklat panas.

Tubuhku tersentak ketika merasakan sepasang tangan melingkar di pinggangku.  Aroma perfume maskulin menyeruak di hidungku. "Jimin?" Kataku pelan.

CONNECTED [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang