Chapter 23☑️

5.5K 431 2
                                    

Don't forget to give a vote⭐️

Aku merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas meja lalu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku, jarum pendek di dalamnya mengarah pada pukul lima sore, tandanya jam pulang kantor.

Aku pun berjalan ke arah parkiran dan langsung masuk ke mobil yang ku pastikan sudah ada Pak Heri yang senantiasa menunggu. Tak lama, mobil yang kunaiki bergerak menyusuri kota Seoul di sore hari.

Oh, ya semenjak aku memberitahu Jimin tentang pria misterius yang menyeramkan itu, aku tidak pernah melihatnya lagi. Aku jadi merasa lebih tenang, semoga saja ia berhenti mengikutiku. Tapi, sepertinya Jimin masih meneruskan pencarian pria tersebut hingga dapat ditemukan. Jimin tidak memberitahuku tentang masalah itu, ia selalu berucap "biar aku saja yang urus, kau akan baik-baik saja."

Aku hanya menurut, karena itu lebih baik daripada harus berdebat dengannya. Dan lagi, aku percaya Jimin akan selalu melindungiku. Tak butuh waktu lama, aku sampai pada di kantor Jimin dan segera ke ruangannya.

Sampai di ruangannya, aku mengetuk pintu dan langsung melesak masuk. Terlihat Jimin yang sedang sibuk menulis sesuatu, ahh pipinya sangat menggemaskan! Mengapa priaku ini lebih tampak seperti balita? Ya Tuhan.

"Jimin?" Panggilku ku sambil mendekat ke arahnya dan berhenti tepat di samping ia duduk. Jimin menoleh ke arahku lalu memeluk pinggangku dari samping. "Kau sudah selesai?" Tanyaku sambil memainkan rambutnya.

Dia menggeleng sebagai jawaban, "belum, sebentar lagi. Tunggu aku, ya?"

Aku tersenyum dan menganggukan kepala, "tentu!" Setelahnya berjalan perlahan namun Jimin mencegah, ia menarik pergelangan tanganku.

"Ingin kemana?" Tanyanya sambil menatapku.

"Menunggumu di sana," jawabku seraya  menunjuk sebuah sofa yang berada di sudut ruangan.

"Tidak, kau duduk disini." Perintahnya sambil menepuk-nepuk kecil pahanya. No, aku berat dan bisa-bisa nanti ia kram. Baru saja bibirku terbuka untuk mengatakan tidak, ia segera menarik tubuhku hingga jatuh pada pahanya dan aku pun terduduk pada posisi menyamping, "aku tidak suka penolakan, kau ingat?" Katanya sambil meletakan helai-helai rambut ku ke belakang telinga.

"Hmm, ya sudah lanjutkan pekerjaanmu, Ji." Kataku.

Dan benar saja, aku dibuat kebosanan di atas pangkuannya selama 30 menit. Yang benar saja, padahal aku ingin cepat-cepat pulang dan tidur. Pikiran jahil pun memenuhi otakku, aku mencubit kedua pipinya bergantian, "oppa, pipimu seperti pantat bayi!" Ucapku meledek seraya menusuk pipinya gemas.

Jimin memegang tanganku sehingga aku berhenti memainkan pipinya, "pantat bayi katamu?" Katanya dengan memicingkan mata. Aku mengangguk. Ia mendekatkan wajahnya pada wajahku hingga aku merasakan hembusan nafasnya yang menerpa permukaan wajahku, "rasakan ini!" Katanya setelah itu disambut oleh jeritan dan tawaku.

"Jimin!! Hentikan!" Aku tak berhenti tertawa karena ia terus menggelitik pinggangku dan menempatkan jari-jarinya pada leherku. Dia benar-benar tau tempat lemahku, ini sangat geli hingga rasanya aku ingin pipis.

"Ku mohon, hentikan hahahaha Jimin. Ya Tuhan hahahaha!" Jimin berhenti menggelitik tubuhku dan menatap wajahku yang memerah karena ulahnya. Nafasku pun tidak beraturan, dadaku naik turun. Aku menatapnya sebal lalu ia tertawa keras.

"Berhenti menertawakanku!" Omelku.

"Sekarang wajahmu seperti kepiting rebus, sangat merah!" Ledeknya sambil tertawa. Aku mendecih dan bangkit dari pangkuannya, lagi-lagi ia mencegahnya.

"Jangan marah, cepat kemari sini." Katanya dengan suara dibuat seperti anak kecil sambil memeluk pinggangku.

"Kau bilang aku seperti kepiting rebus!"

"Kau bilang pipiku seperti pantat bayi!"

Aku menoleh ke arahnya tajam karena ia mengikuti kata-kataku, "terserahmu!"

Tangannya menangkup kedua pipiku dan mendekatkan wajahnya hingga dahi kami berdua saling menempel. Ia menggesekan hidungnya pada hidungku, "kau sangat cantik ketika marah," huh? Dasar pria gombal! Mana ada orang cantik ketika marah, aku tidak menggubris ucapannya dan mem-poutkan bibirku.

"Jangan buat bibirmu seperti itu," katanya membuatku bingung.

"Kenapa?" tanyaku.

"Karena itu membuatku sangat ingin menciummu!"

Aku menatapnya acuh, "yang benar sa-hmmph" ucapanku terputus begitu saja karena ia mencium bibirku. Ia menyesap bibirku bagian atas dan bawah bergantian dengan lembut, tangannya menelusuri rahangku dan mengusapnya secara sensual. Tangannya mendorong tengkukku untuk memperdalam ciuman, lidahnya pun mulai mengabsen gigiku namun aku masih belum membalas ciumannya. Aku harus tahan!

Jimin memburu bibirku semakin jadi, hingga membuat pertahananku runtuh dan membuka mulutku. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Jimin segera memasukkan lidahnya bertemu dengan lidahku. Sebuah french kiss hingga suara decakan yang kami buat memenuhi ruangan kantornya. Lidahnya menggelitik langit-langit mulutku membuat tubuhku menggelinjang, tanpa sadar, desahan keluar disela-sela ciuman.

Ia sangat memimpin ciuman ini, atau mungkin ia selalu yang menjadi pemimpin. Aku susah mengibangi ciumannya yang membuatku sering kehabisan nafas seperti sekarang. Tanganku mendorong dadanya pelan hingga ciuman kami terlepas dan benang-benang saliva kami terputus.

Aku mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, dadaku seperti tercekat. Ia mengelap area sekitar mulutku yang basah akibat perbuatan tadi dengan ibu jarinya. Setelah nafasku sudah teratur, aku menoleh ke arahnya dan mendapati Jimin yang sedang memandangku sambil tersenyum. Senyum yang sangat manis yang menjadi sebab detak jantungku berdegup sangat cepat, semoga saja ia tidak mendengarnya atau nanti aku diledek olehnya.

Ia mengecup keningku lama sebelum melepaskannya dan mengelus rambutku. "Ayo, pulang." Ajaknya lalu merapikan barang-barang dan setelahnya menggenggam tanganku keluar dari ruangannya.

Aku menatap tangannya yang menggenggam tanganku erat. Tangannya yang hangat membuat aku selalu suka digenggamnya. Tangan sebuah pria yang sudah memiliki anak dari pernikahannya dulu. Aku sangat penasaran dengan sosok ibu Jiya, ia pasti mempunyai wajah yang cantik.

Aku sudah memberitahu kedua orang tuaku mengenai hubungan kami, sesekali kami pun mengobrol dengan orang tuaku melalui Face Time. Syukurlah, ayahku menerima Jimin, berbeda dengan ibuku yang masih meragukan Jimin. Terlebih dengan status Jimin duda beranak satu. Aku selalu meyakinkan ibuku bahwa Jimin merupakan pria sekaligus ayah yang baik, dan lagi aku juga sudah sangat akrab dengan anaknya. Sebuah pertanda bagus, bukan?

Semoga saja aku bisa terus sampai kapan pun bersama Jimin.

-Tbc-

Telah direvisi.

CONNECTED [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang