Chapter 30☑️

5.5K 409 1
                                    

Don't forget to give a vote⭐️

Aku terbangun dengan kepala yang pening, kulihat jam yang berada di samping kasur. Pukul 02:00 dini hari. Jimin terlihat di sebelahku yang masih nyenyak dalam tidurnya. Bisa ku lihat hidungnya yang merah seperti habis menangis. Tanganku bergerak menyingkirkan helai rambut yang menghalangi wajahnya.

Ada kecewa yang ku rasakan padanya, tapi rasa sayangku mungkin lebih besar. Meski ia yang mengakibatkan sahabatku meninggal tapi ia yang sudah merawat Jiya sendirian selama ini. Mungkin semua ini takdir... semarah apapun aku padanya, waktu tak akan bisa terulang kembali. Aku hanya bisa ikhlas menerimanya dan percaya bahwa ini jalan yang terbaik Tuhan berikan.

Kusingkirkan tangannya yang memeluk pinggangku erat perlahan dan menuju ke balkon hotel. Pandanganku terpaku pada indahnya langit yang dipenuhi bintang-bintang. Akhirnya, aku bisa kembali ke Jakarta.

Angin berhembus kencang menerpa tubuhku yang hanya terbalut oleh kemeja yang kurasa milik Jimin. Sepertinya dia yang mengganti pakaianku.

Putri kecil yang bersamaku selama beberapa bulan terakhir ini ternyata anakmu, Tae... Batinku.

Jika saja kecelakaan itu tidak terjadi, mungkin kita sedang berusaha merawat anak ini bersama tanpa ayahnya yang tidak menginginkan kehadirannya. Dan, mungkin tidak ada seorang Hwang Jimin dalam kehidupanku.

Diriku sangat penasaran dengan mantan kekasih Jimin itu, yang menyebabkan Jimin patah hati dan minum-minum. Seperti apa sosok wanita itu?

Tubuhku tersentak karena terkejut tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang, siapa lagi kalau bukan Jimin? Tangannya melingkar manis pada pinggangku dengan kepalanya yang bertumpu dan punggungku.

"Maafkan aku..." Lirihnya dan mulai merasakan basah pada punggungku, Jimin menangis? Dengan cepat aku membalikkan tubuhku, membiarkan pelukannya terlepas dan mendapati Jimin yang menunduk.

"Maafkan aku... aku tau maaf tidak akan mengembalikan sahabatmu, aku salah, aku bodoh, aku pengecut! Aku lari dari semua masalah ini dan mengumpat dibalik semua kekuasaan,"

"Aku tidak berniat membohongimu, sungguh. Aku tak tau, jika kau sahabatnya... maaf... aku menyesal." Jimin masih menunduk dengan isakan kecilnya, aku pun bisa melihat punggungnya yang naik-turun karena menangis.

Ku raih tubuhnya ke dalam pelukanku, "maaf," lirihnya masih menangis. Tanganku beralih untuk mengelus punggungnya lembut untuk menenangkan.

"Ssst, berhentilah menangis," ucapku seraya mengalungkan lenganku pada lehernya. Aku bisa melihat mata dan hidung memerah, serta pipinya yang basah karena air mata.

Ku usap pipinya yang basah dengan ibu jariku, "aku sudah memaafkanmu, jadi berhenti menangis!"

Jimin tersenyum menatapku, "terimakasih! Aku tiㅡ" ucapannya terpotong karena aku segera mendaratkan bibirku pada bibir plumnya. Dia sempat terkejut namun segera membalas ciumanku. Sebuah ciuman hangat yang jauh dari kata gairah.

Setelah merasa pasokan oksigen ku menipis, ku lepaskan tautan bibir kami. Kami berdua saling menatap satu sama lain tanpa berucap apapun.

"Kau harus temukan Jiya dengan ayah kandungnya, Ji."

Jimin menatapku bingung, "ayah kandungnya masih hidup?"

Ku anggukkan kepalaku pelan, "dan juga kau harus jujur padanya siapa ayah kandungnya. Mengerti?"

Dia hanya mengangguk pelan dan menunduk, ini pasti berat mengingat Jimin yang sudah terbiasa dengan Jiya bahkan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Ada perasaan takut dia akan kehilangan Jiya pasti. Tapi, semuanya harus terungkap. Ayah kandung Jiya harus mengetahui bahwa anaknya yang dari dulu dipikir sudah tiada, anaknya yang dari dulu dipikir berada dalam satu makam dengan kekasihnya itu masih hidup.

Kuperhatikan Jimin yang sedih dengan bibirnya melengkung ke bawah seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh ibunya, "jadi, kekasihku ini bukan duda, huh?" Godaku sambil terkekeh.

Jimin tertawa dan mencubit pipiku gemas setelahnya segera menggendong tubuhku masuk ke dalam lalu membaringkan tubuhku di kasur perlahan. Tubuhnya berada di atasku.

Dia mendekatkan wajahnya dengan wajahku hingga kening kami saling menempel, "aku merindukanmu, kau tahu, hm?" Ucapnya pelan dengan tatapan menyeringai. Aku tau ini akan berakhir seperti apa.

Benar saja, setelahnya ia langsung melumat bibirku ganas atas-bawah bergantian dengan tangannya yang mulai membuka kancing kemeja yang kukenakan.

Saat berhasil terlepas ia segera meremas kedua dadaku. Memberi sentuhan sensual membuat sekujur tubuhku merinding.

Aku hanya bisa mengikuti permainannya dengan meremas rambut tebalnya diiringi oleh desahan nikmat yang keluar dari mulutku. Dia selalu mendominasi permainan ini dan selalu bisa membuat tubuhku lemas di bawahnya.

Mulutku tak henti mendesahkan namanya. Matanya terpejam dan mengadahkan kepalanya ketika mulai memasuki tubuhku. Membuat dirinya tenggelam dalam padaku begitu saja. Keringat-keringat kecil mulai keluar dan membasahi dahi mulusnya menambah kesan sexy.

Ia terus menghujamku cepat hingga tubuhku tersentak mengikuti pergerakan pinggulnya. Sesekali ia mencabut miliknya yang terbenam sempurna di dalamku dan segera memasukkan kembali dengan sekali hentakan, dan lagi-lagi aku menjerit kencang dibuatnya.

Jimin kembali mempercepat temponya hingga aku merasakan sesuatu yang akan meledak dalam diriku. Ku rasa Jimin juga merasakan hal yang sama, karena aku merasakan dirinya yang semakin keras dan besar di bawah sana. Membuat diriku sesak.

Tak lama, aku merasakan semburan hangat pada rahimku. Satu kali, dua kali, beberapa kali aku merasakan ia yang menyemburkan benihnya di dalam.

Jimin segera berbaring di sebelahku tanpa melepas penyatuan kami dan membawa tubuhku yang polos ke dalam dekapannya.

"Tidurlah, kau pasti lelah." Ucapnya sambil mencium keningku. Aku menurut dan menenggelamkan wajahku pada ceruk lehernya. Membiarkan diriku dan dia tidur dalam kondisi seperti ini, dengan dia yang masih berada di dalamku.

-Tbc-

Telah direvisi.

CONNECTED [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang