Chapter 4☑️

5.8K 633 19
                                    

Don't forget to give a vote ⭐️

Jimin mulai melajukan mobilnya setelah aku menjawab pertanyaannya tentang dimana aku tinggal. "Valerie?" Ia memanggil namaku. Pandangannya lurus menatap jalan dengan saksama.

"Hmm, ya?"

"Apa kau sungguh tidak keberatan untuk merawat Jiya?" Dia bertanya sambil menoleh ke arahku. "Apa yang ia inginkan pasti harus ia dapatkan, jika tidak ia akan menangis seperti tadi. Saya selalu memanjakannya jadi Jiya bersikap seperti itu." Jelas Jimin.

"Saya akan membujuk Jiya agar membatalkan keinginannya."

"Loh?" Aku terkejut menatapnya. "Saya tidak keberatan, Pak. Ah, maksud saya, Jimin. Iya. Dengan senang hati saya akan merawat Jiya." Jelasku gugup karena lupa untuk tidak memanggilnya dengan embel-embel 'Pak'.

Jimin kembali menatapku sebentar, menaikkan kedua alisnya sebelum kembali memusatkan pandangannya ke depan. "Benar?" Tanyanya memastikan. "Bagus kalau begitu, jadi ia tidak akan merasa kecewa." Lanjutnya. Aku tidak merespon, hanya mengangguk dan tersenyum kecil.

Selama perjalanan, kami mengobrol. Aku menanyakan penyakit apa yang dialami Jiya saat ini. Ia juga menanyakan bagaimana berkembangan anaknya selama di sekolah dan tentang diriku. Ya. Diri. Ku. Seperti umurku dan sejak kapan aku mengajar di TK.

Suasana di dalam mobil cukup canggung karena sebetulnya aku tidak terlalu pintar dalam bergaul dengan seseorang. Terlebih dengan orang yang baru ku kenal seperti Jimin. Sepertinya berbeda dengan Jimin, ia sedari tadi selalu memiliki topik agar kami tidak saling diam satu sama lain.

Hingga tak terasa, mobil yang Jimin kendarai berhenti di depan gedung apartemenku. Sebelum turun, aku berterimakasih padanya dan ia berkata bahwa ia akan menjemputku kembali nanti sesuai jam yang tadi kami sudah tentukan.

Aku membuka pintu mobil lalu keluar. Kembali menghadakan tubuhku ke arahnya sambil tersenyum, aku melambaikan tanganku pelan saat mobilnya mulai pergi menjauh dari tempatku berdiri.

Jimin sangat baik ternyata, ku pikir ia seseorang yang angkuh dan sombong, mengingat betapa kayanya dia. Tapi aku ternyata salah besar. Maafkan aku, Hwang Jimin atas semua dugaan burukku padamu.

Hari kian berlalu. Kini terhitung hari ke-8 aku merawat Jiya. Tidak sepanjang hari memang karena aku harus bekerja, beruntung ia memakluminya. Tidak ada adegan menangis atau merengek. Keadaannya semakin membaik hingga dokter mengatakan bahwa ia sudah bisa pulang sore ini.

Selama aku merawat Jiya aku harus mengurus beberapa berkas yang harus aku kerjakan di rumah sakit, aku juga tetap mengajar seperti biasa.

Jimin khawatir dengan kondisi tersebut, ia sempat melihatku yang beberapa kali menemukanku tampak lelah.

Sekarang hari Sabtu, kami sama-sama tidak memiliki jadwal kerja. Saat ini Jimin tengah menemaniku yang sedang bergulat dengan laptop, mengetik beberapa laporan di sofa yang terletak di kamar rawat Jiya. Gadis kecil itu tertidur pulas. Sementara Jimin berada di depanku sambil memandang ke luar jendela.

Tubuhku tersentak akibat rasa hangat menyentuh punggung tanganku. Aku mendongangkan kepala, mendapatkan Jimin sedang memegang tanganku yang sedang di atas mouse. "Berhentilah, jari-jarimu juga butuh istirahat," dia berkata sambil menatapku.

"Sedikit lagi selesai. Lagipula harus dikirim be—" Belum selesai aku menjelaskan, Jimin meremas tanganku pelan. Jantungku berpacu lebih cepat saat ini. Tindakannya benar-benar di luar dugaanku.

"Jiya pulang hari ini, saya tak ingin malah kau mengantikan Jiya." Balasnya tegas membuat aku bungkam. "Kau bisa melanjutkannya lagi, setelah makan siang." Aku hanya menatapnya dengan tatapan bingung. Namun anehnya seperti ada sebuah sihir yang mampu untuk aku mengikuti arahannya, sehingga kepalaku mengangguk.

Setelahnya Jimin meminta tolong kepada Bibi Yeriㅡbabysitter Jiya untuk menemani Jiya yang sedang tertidur. Kami menuju tempat makan yang ada di lobi rumah sakit.

"Kau ingin pesan apa?" Tanyanya sambil melihat buku menu.

"Samakan saja."

Usai memesan makanan. Ia menyilangkan tangan di dada dan menyenderkan tubuhnya pada punggung kursi. Kami sama-sama diam. Aku hanya memperhatikan sekitarku yang ramai.

Satu hal terlintas di otakku. Sebuah pertanyaan yang beberapa hari ini membuatku penasaran. Terkait Jimin. Aku menggigit bibir bawahku pelan. Menimang apakah pertanyaan ini harus aku tanyakan atau tidak.

Kalau dipikir-pikir, jika aku tidak bertanya, selamanya penasaran menghantuiku. Dan ada baiknya aku tahu tentang hal itu. Jika tidak, bisa-bisa suatu saat nanti aku kesalahpahaman.

"Jimin."

Mata Jimin yang awalnya berada di layar ponsel berpindah melihatku. Aku diam. Kembali berpikir. Apakah harus aku bertanya? Aku takut dia tersinggung.

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Tanyaku ragu-ragu.
Ia menganggukan kepalanya. "Jika boleh tahu, kemana Ibunya Jiya—maksudku, apakah dia mengizinkanku menjaga putrinya?"

Jimin meletakkan ponselnya ke atas meja dan tersenyum simpul. "Ibunya Jiya sudah meninggal." Jawabnya santai tapi tidak denganku.

"Ah, astaga, maafkan aku—aku—"

"Tidak apa-apa."

Aku langsung diam tidak tahu harus berkata apa-apa. Aku jadi menyesal menanyakan hal itu karena yang ku dapat sekarang adalah wajah Jimin yang tampak murung. Tanpa sengaja aku membuka kembali duka lamanya. "It's fine, Valerie, kau jadi gugup." Sahut Jimin, sontak aku sadar dari lamunanku. "Jiya sudah lama sekali kehilangan sosok Ibu, jadi aku harap kau memaklumi sikapnya padamu yang begitu clingy. Kau tahu? Jiya sangat suka padamu and you don't have to be sorry."

"I do have to, aku bertanya hal berbau privasi tadi. Terlebih aku jadi membuka kembali dukamu."

Kepala Jimin menggeleng.

"It's in the past. Jiya and I—we're both happy now."

-Tbc-

Telah direvisi.

CONNECTED [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang