Chapter 5☑️

6.3K 656 25
                                    

Don't forget to give a vote⭐️

Mobil yang sedang ku tumpangi memasuki sebuah pekarangan rumah yang megah, tak lain tak bukan adalah rumah Jimin. Sehabis makan siang tadi, aku ikut mengantar Jiya yang sudah sembuh untuk pulang ke rumah, atas permintaannya.

Laju mobil berhenti, seorang pelayan pun membukakan pintu mobil untuk kamiㅡaku, Jiya, dan juga Jimin. Pintu besar dan tinggi berada di hadapanku terbuka, kami memasuki foyer yang luas dengan sentuhan ornamen kayu di setiap bagiannya, ditambah dengan beberapa lukisan.

Aku duduk di ruang tengah, menunggu Jimin yang sedang mengantar Jiya ke kamar. Mataku mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Rumah ini sangat tertata rapih. Aku berani bertaruh Jimin membayar mahal jasa sang desain interior. Jangan lupakan pula rumah ini diiisi semua furniture ternama dan mahal. Aku yakin banyak furniture di sini yang dipesan secara khusus untuk menyesuaikan tema rumah.

"Silahkan diminum, Nona." Ujar seseorang berpakaian seragam pelayan sambil membawa nampan yang terdapat minuman dan beberapa cemilan. Aku mengangguk sebagai jawaban. Ia meletakkan nampan tersebut di hadapanku sebelum kembali membuka suara, "Jika Nona membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk katakan pada saya. Saya Bibi Hana, ketua pelayan di rumah ini." Ucapnya sambil membukukkan badannya di depanku.

"Tentu, terima kasih banyak, Bibi Hana." Ia pergi dari ruang tengah dan aku kembali melihat sekitar dengan takjub. Jimin sangat mempunyai selera yang mahal. Aku terdiam ketika mataku menangkap sesosok pria yang melangkah turun ditangga, siapa lagi kalau bukan Jimin. Ia tersenyum lalu berjalan ke arahku.

"Maaf membuatmu menunggu," katanya.

"Tak apa, bagaimana dengan Jiya?"

Jimin ikut menempatkan bokongnya di sebelahku. "Jiya sedang tidur, dia harus banyak istirahat," aku mengangguk mendengar jawaban yang ia berikan.

"Terima kasih sudah merawat Jiya seminggu ini. Saya tidak tau bagaimana harus membalas kebaikanmu," dia berkata sambil menatapku dalam. Beberapa hari kenal dengannya, aku menyadari bahwa Jimin mempunyai mata yang indah. Matanya memang kecil namun sorot matanya begitu teduh jika sedang berbicara santai seperti ini. Beda jika ia sedang memerintah, sorot matanya sangat tajam. Jimin memiliki duality yang menakjubkan.

Stop. Bisakah dia berhenti menatapku begitu lekat? Aku takut jika suara jantungku yang berdegup kencang ini terdengar. Ah! apa yang kau lakukan padaku Hwang Jimin?

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan rasa gugupku. "No, it's okay. Saya sudah katakan dari awal jika melakukan ini dengan senang hati. Lagipula saya menyukai putrimu, Jiya sangat lucu dan menggemaskan."  Terangku panjang lebar sambil tersenyum ke arahnya.

"Kau menyukai putriku? Yakin?" Jimin bertanya sambil menaikan sebelas alisnya.

Kepalaku mengangguk. "Putrimu itu sangat lucu dan pintar, semua orang past—"

"Bukan itu maksudku. Kau yakin hanya menyukai putriku? Tidak dengan ayahnya?" Dia berucap sambil menampakkan senyum genitnya.

"Apa yang kau katakan?!" Makiku tidak terima. Pertanyaannya sangat konyol. Dasar menyebalkan! Aku mengerucutkan bibirku sebal. Bukannya merasa bersalah, Jimin tertawa bahagia. "Ah, ya Jimin." Cicitku, ia berhenti tertawa dan menatapku.

CONNECTED [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang