Aku tersadar dan merasakan pusing. Indera penciumanku juga menangkap bau obat-obatan yang sangat menusuk. Namun, mataku masih terpejam.
Tiba-tiba aku teringat semua kejadian yang menimpaku. Aku sangat takut pria itu menemukanku lagi. Ia menamparku, mengikatku bahkan melukai lenganku. Tidak, tidak! Cukup! Aku sangat takut, pria itu begitu menyeramkan!
"AAA!!" Teriakku ketika merasakan hangat pada jemariku, sontak aku langsung menempatkan badanku menjadi duduk dan tetap memejamkan mata. Dengan kedua kakiku yang ditekuk dan lututku menjadi penopang kepalaku.
"Kumohon, ja- jangan sa..kiti aku lagi." Pintaku memohon diikuti isakan.
"Ssst, aku Jimin. Kau sudah aman, sayang."
Aku mendongakkan kepala dan mendapati Jimin yang sedang mengusap lembut punggungku. Dengan cepat aku langsung memeluknya erat dan tambah menangis hebat. Akhirnya. Aku selamat. Aku memeluknya kencang dan membenamkan wajahku pada ceruk lehernya.
"You're safe now..." ujar Jimin sembari memberi usapan lembut pada rambutku dan sesekali mengecup puncak kepalaku.
Bahu Jimin sudah basah karena air mataku dan ia tak terganggu sama sekali melainkan semakin mendekap erat tubuhku dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia berusaha menenangkanku.
Ku lepaskan pelukanku dan beralih menatap matanya. Ia tersenyum dan kedua ibu jarinya mengusap pipiku yang basah akibat air mata, "aku tak bisa melihatmu menangis, tersenyumlah." Pintanya seraya menarik ujung bibirku pelan hingga membuat kurva ke atas.
"Aku takut, Ji..." lirihku dan menundukkan kepalaku menatap selimut putih yang menutupi kakiku.
Jimin menangkup kedua pipiku membuat mata kami saling bertemu, "ada aku di sini. Aku tak akan membiarkan siapa pun melukaimu lagi."
Setelahnya ia menempatkan bibirnya di atas bibirku lalu melumat bibirku lembut. Aku bisa merasakan ia tersenyum dalam ciuman lembut dan menenangkan ini.
Ciuman kami terlepas ketika menyadari ada seseorang yang mengetuk pintu dan tak lama pintu itu pun terbuka. Ternyata dokter. Ia harus memeriksaku, katanya.
Selama dokter tersebut memeriksa, aku menggenggam erat tangan Jimin. Satu-satunya cara agar menenangkan diriku. Jujur, aku sangat takut pria itu datang dan kembali melukaiku.
Dokter pun selesai memeriksaku dan keluar sebelum berbicara sebentar dengan Jimin. Aku tak tahu mereka membicarakan apa, mungkin tentang kondisiku?
Jimin kembali menghampiri tubuhku yang terbaring lemas di ruang inap VVIP rumah sakit.
"Kata dokter, kau harus banyak beristirahat agar cepat pulih," katanya. Mungkin ia menyadari wajahku yang penasaran sedari tadi menatap mereka saat berbicara.
Aku menganggukkan kepala tanda mengerti, "perban dilenganmu akan dibuka jika jahitan sudah kering." Lanjutnya sembari mengambil nampan yang terdapat makanan di atasnya.
Kulihat makanannya dan langsung memasang raut sedih. Semuanya hanya ada sayuran. Dengan sangat terpaksa, aku memakan semua sayuran tersebut sebelum Jimin mengoceh. Ia juga yang menyuapiku karena lengan kananku yang masih sakit untuk digerakkan dan terlebih tangan kiriku diinfus.
Selesai makan aku dan Jimin saling berbincang mengenai penculikkan ku kemarin. Aku menjelaskan semuanya secara detail kepada Jimin, mulai dari apartemen hingga aku yang kabur ke rest area.
Jimin selalu memberi usapan pada pundakku ketika aku kembali mengingat bagaimana pria itu melukaiku. Ia juga berjanji padaku akan segera mencari pria tersebut dan akan memasukkannya ke dalam penjara seumur hidup. Bahkan ia berkata, jika aku mengizinkan dirinya untuk membunuh orang tersebut dengan tangannya sendiri maka ia akan melakukannya dengan senang hati. Tapi, jelas saja aku menolak permintaan gilanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONNECTED [end]
Fanfiction[BOOK I] [COMPLETED] Valerie Johnson, wanita kelahiran Indonesia yang berusaha hidup mandiri di negeri ginseng, yakni Korea Selatan. Beberapa tahun mengenyam pendidikan di salah satu universitas ternama disana membuatnya lupa dengan tanah kelahirann...