Setengah tahun berlalu semenjak kejadian naas yang terjadi di rumah Jimin. Kejadian yang tak pernah diharapkan terjadi sampai kapanpun. Karena kejadian tersebut, aku dan Jimin kehilangan Jiya serta Jungkook.
Jiya tak bisa diselamatkan karena tusukan pisau yang mengenai organ vitalnya sementara Jungkook tertembak pada bagian dadanya saat menyelamatkan Jimin.
Ya, Jungkook segera berlari ke arah tubuh Jimin sehingga peluru yang semestinya mendarat pada tubuh Jimin terhadang oleh tubuhnya. Setelahnya polisi datang untuk menyelamatkan kami. Beruntung, Jimin sempat menelpon polisi saat di lantai bawah.
Sementara Namjoon sudah dipenjara dan tinggal menunggu keputusan untuk pengadilan. Dalang dari penculikan ku, membayar seseorang untuk menguntit dan mencoba membunuhku, serta apa yang ia lakukan di rumah Jimin adalah sebuah pembunuhan berencana. Aku yakin akan mendekam di penjara sangat lama sebab banyak pasal yang menjeratnya.
Sedang Jimin menjual rumahnya tersebut dan kini kami tinggal di penthouse milik Jimin. Kami berdua sama-sama tak bisa tinggal di dalam rumah dimana rumah tersebut menjadi saksi bisu tewasnya Jiya dan Jungkook.
Saat ini aku mulai tenang, karena Jimin mulai mengikhlaskan kepergian Jiya. Jimin sangat terpukul karena kejadian naas tersebutㅡsama sepertiku. Sehari setelah Jiya dimakamkan, Jimin menangis sepanjang malam dan enggan keluar kamar walau sekedar untuk makan. Dia makan juga harus dipaksa.
Beruntunglah, masa-masa sulit itu sudah terlewati meski kami sama-sama merasa kesepian karena tidak adanya Jiya yang selalu meramaikan rumah dengan segala celotehan panjang dari gadis kecil tersebut.
MerekaㅡTaeyeon, Jiya, dan Jungkook sudah tenang disana. Semoga mereka dapat dipertemukan kembali di alam yang berbeda.
Aku membawa secangkir berisikan kopi hangat menuju ruang kerja Jimin. Sekarang sudah pukul sepuluh malam namun ia belum juga beres menyelesaikan berkas-berkasnya yang menumpuk. Aku tahu, itu hanyalah pelampiasannya karena merindukan Jiya.
Tanganku terulur untuk mengetuk pintu dan membuka knop pintu perlahan. Membawa tubuhku semakin masuk ke dalam ruang kerja Jimin.
"Val," aku mendongakkan kepala dan mendapati Jimin yang duduk di meja kantornya tengah memperhatikan diriku. Kakiku berjalan mendekat ke arah mejanya dan menyodorkan secangkir kopi yang telah ku buatkan untuknya.
"Ini, aku membuatkannya untukmu."
Dia tersenyum dan mengambil cangkir kopi yang ku bawa, "terimakasih, sayang." Ucapnya lalu menyeruput kopi itu perlahan.
Aku mendekatkan tubuhku dengannya dan memuluk tubuh kekarnya dari belakang. Melingkarkan tanganku pada pundaknya serta menumpukkan kepalaku ke dalam lehernya. "Istirahatlah," ucapku pelan seraya mengendus aroma mint pada tubuhnya.
"Sebentar lagi." Jawabnya dan kembali fokus pada laptopnya.
Aku mendengus sebal, "huh, sebentarmu itu lama, Jimin..." balasku dan ia hanya terkekeh. Aku menegakkan tubuhku dan tanganku terulur untuk memijat pundaknya. "Tubuhmu itu butuh istirahat!" Jelasku tanpa berhenti memberi pijatan. Sesekali ia mendesah karena pijatan yang ku beri tepat pada titik pegalnya.
"Iya, iya sayang. Aku istirahat sekarang." Ucapnya lalu mematikan laptopnya dan beralih memegang tanganku yang di pundaknya.
"Bagus! Sekarang ayo kita ke kamar, aku akan melanjutkan memijatmu," kataku, ia mengangguk sebelum mengecup lembut punggung tanganku.
*
Sekarang sudah pukul sebelas kurang dan aku baru selesai memijat tubuh Jimin.
"Kemarilah," pinta Jimin sambil menepuk sisi sebelahnya yang kosong. Aku merangkak naik ke atas kasur dan merebahkan tubuhku disebelahnya, meletakkan kepalaku pada lengannya yang kekar.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONNECTED [end]
Fanfiction[BOOK I] [COMPLETED] Valerie Johnson, wanita kelahiran Indonesia yang berusaha hidup mandiri di negeri ginseng, yakni Korea Selatan. Beberapa tahun mengenyam pendidikan di salah satu universitas ternama disana membuatnya lupa dengan tanah kelahirann...