Chapter 37☑️

4.9K 382 7
                                    

Semenjak hari dimana Jimin mengetahui bahwa Jungkook adalah ayah kandung Jiya, mereka semakin akrab dan membiarkan Jiya selalu bersama Jungkook.

KamiㅡJimin dan aku sepakat akan memberitahu Jungkook yang sebenarnya setelah aku sudah dibolehkan keluar dari rumah sakit.

Bahkan kami sudah memikirkan kata-kata yang akan kami ucapkan kepada Jungkook agar tertata dan sebaik mungkin. Karena ini bukan hal yang mudah. Kami tidak tahu bagaimana reaksi Jungkook ketika mendengar penjelasan kami nanti.

Tapi, sebisa mungkin kami akan menerima semuanya. Semua kemungkinan baik ataupun buruk yang kami akan dapatkan dari Jungkook. Mengingat ini sebuah masalah besar atau lebih tepatnya kebohongan yang selama ini Jimin sembunyikan.

Kau bayangkan saja, selama hampir 5 tahun ini Jungkook mengira bahwa anaknya sudah tiada. Dimana kenyataan berkata sebaliknya, anak Jungkook masih hidup. Anak yang awalnya ia tidak inginkan hidup bersama orang lain yang telah menyebabkan ibunya tiada. Bahkan menganggap orang itu ia anggap sebagai ayah kandungnya selama ini.

Sampai saat ini, akuㅡterutama Jimin masih tidak tahu bagaimana mengatakan bahwa ayah kandungnya Jungkook, bukan Jimin.

Aku juga tahu sebetulnya Jimin sangat cemas dan takut jika nanti Jungkook tidak akan mengizinkannya bertemu dengan Jiya lagi. Bagaimana pun, Jimin sudah bersama Jiya semenjak ia dilahirkan. Lalu, merawatnya dengan baik layaknya anak kandung. Jimin sudah sangat menyayangi Jiya, dan juga sebaliknya.

Akan sulit untuk mereka dipisahkan, jika saja kemungkinan terburuk terjadi. Jungkook akan sangat marah terhadap Jimin dan segera mengambil Jiya begitu saja. Itu akan sangat berat untuk Jimin, begitu pun Jiya.

Semoga saja hal itu tidak terjadi.

Aku melirik pintu yang terbuka dan melihat Jimin yang masuk dan berjalan ke arahku. Ia baru saja dari ruangan dokter untuk membicarakan kondisiku.

Luka di lenganku sudah kering dan perbannya pun sudah dibuka, begitu juga dengan luka yang di pelipisku. Badanku yang awalnya sakit untuk digerakkan juga sudah hilang. Beruntung benturan di kepalaku tidak mengakibatkan gegar otak.

Dia berhenti tepat di sebelah kasur dimana aku berbaring. Ku posisikan tubuhku menjadi duduk. "Kau sudah dibolehkan pulang sore nanti," ucapnya lembut sembari mengusap lembut rambutku yang panjang.

Seketika senyum diwajahku merekah mendengar ucapannya, "benarkah?" Tanyaku dengan wajah sumringah.

Ia mengangguk pelan, "yeayyy!! Akhirnya!" Seruku gembira. Jimin hanya terkekeh melihat tingkahku.

"Saat sudah pulih, jangan lupa, eoh? Selalu ijin kemana pun kau pergi, kabari aku, jangan pernah matikan ponselmu, dan jangan pernah melarang semua yang ku perintahkan ke Pak Shin untukmu."

Aku menghela napas mendengar semua perintahnya. "Huft, ya aku ingat semua itu Mr. Hwang!" Kataku malas.

Ia mengacak rambutku pelan dan tersenyum lebar hingga menampilkan eye smilenya yang sangat menggemaskan. Kuusap penuh sayang matanya yang hampir tertutup itu dengan ibu jariku.

"Aku menyukai eye smilemu," ujarku jujur. Tak diduga, pipi Jimin bersemu merah. Astaga! Apakah ia baru saja tersipu karena ucapanku barusan? Dengan gemas aku menangkup kedua pipinya, mengakat kepalanya yang mulai menunduk. "Hwang Jimin baru saja tersipu?" Ucapku meledek diiringi kekehan.

"Sayang..."

Ia merengek dan berusaha menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan tapi gagal karena aku mencegahnya. Aku tertawa kencang mendapati wajahnya yang semakin memerah.

CONNECTED [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang