Don't forget to give a vote⭐️
Diriku terbangun ketika sinar matahari mulai masuk ke dalam kamarku melewati celah-celah gordyn. Ku lirik jam menunjukkan pukul 06.30. Aku menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhku dan bergegas untuk mandi. Hari ini jadwalku mengajar.
Aku melangkahkan kakiku di koridor menuju kelas. Mataku menangkap seorang murid yang sedang berbicara dengan seseorang. Anak itu berbalik, meninggalkan seseorang yang menurutku adalah ayahnya.
Ternyata anak itu ialah Jiya, segera aku menghampirinya untuk menyapa. "Selamat pagi!" Kataku di belakangnya.
"Selamat pagi... IBU?!"
Aku mengerjapkan mata. Loh, kenapa dia terkejut melihatku? Aku menunduk, memandangnya heran dengan dahi berkerut, "kenapa Jiya?"
"Ti—tidak." Jawabnya menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seraya memainkan ibu jarinya gugup. "Kenapa kemarin Ibu tidak mengajar?"
Oh... Ternyata itu. Aku memegang pundaknya, "Ibu ada urusan lain, Jiya. Sekarang, ayo kita ke kelas!" Kataku lantas menggandeng tangannya menuju kelas.
"Ibu Valerie!!!" Semua murid meneriakkan namaku ketika aku mulai memasuki kelas. Ahh, menggemaskan sekali mereka. Aku senang sekali melihat mereka yang antusias melihat kedatanganku. Rasanya seperti aku menjadi guru terfavorit. Aku membalas sapaan mereka dan mengajar seperti biasa hingga waktu usai.
Tepat pukul sepuluh, aku merapikan semua barang bawaanku dan bergegas pergi. Hari ini aku ada temu janji dengan seseorang yang sebetulnya enggan untuk aku lihat. Namun karena ia memaksa, terpaksa aku mengiyakan ajakannya.
"Ibu Valerie," langkah kakiku terhenti saat ada yang meneriakkan namaku. Bersamaan aku menolehkan kepala, dapatku lihat Jiya berlari ke arahku.
"Kenapa Jiya?" Aku bertanya saat ia sudah berada di dekatku yang kemudian dibalas gelengan kepala darinya.
Jiya menunduk, menatap lantai. "Hmm..." Ia bergumam.
"Ada yang ingin Jiya katakan?" Balasku seraya membungkukkan sedikit tubuhku. Kali ini ia mengangguk sebagai jawaban.
"Ibu cantik dan... Aku menyukai warna rambut ibu," matanya mengarah ke rambutku yang diikat setengah.
Jelas senyumanku langsung mengembang mendapat pujian darinya. Aku tahu dia sangat gugup dan malu saat mengatakannya. Tapi menurutku, dia sudah luar biasa berani. "Jiya juga sangaaaaat menggemaskan," balasku sambil mencubit pipinya gemas. "Rambut hitam milikmu juga sangat indah!" Dia hanya tersenyum malu mendengar kata-kataku.
"Jiya sudah dijemput?" Tanyaku padanya sewaktu berjalan di koridor. Ia mendongak menatapku lalu mengangguk. "Mari Ibu antar." Tawarku dan langsung diterima dengan senang hati olehnya.
Kaki ku berhenti mengikuti langkah Jiya yang berhenti di depan lelaki berseragam hitam dari atas sampai bawah. Tubuhnya tinggi dan besar. Aku mengernyit sedikit takut.
"Ayo, pulang, Nona Jiya." Kata lelaki besar itu.
"Ini Pak Kyung Hee, yang biasa mengantar dan menjemputku. Jiya pulang dulu, Ibu Valerie, sampai berjumpa besok!" Jelas Jiya, aku hanya mengangguk dan tersenyum kikuk.
"Iya, hati-hati di jalan!"
Supirnya seram sekali, aku membatin setelah melihat perawakannya tadi. Sepeninggalan Jiya, aku harus segera pergi.
Sesampainya di sebuah kafe. Aku mengedarkan pandangan, mencari orang yang sedang menungguku. Ia bilang sudah sampai. Hingga pandanganku tertuju pada lelaki berambut pendek dan memakai hoodie berwarna hitam.
Aku menghampirinya yang sedang duduk sambil meminum sebuah cangkir teh di tangan. "Hey, maaf menunggu lama." Sapaku kemudian duduk tepat di depannya.
Melihat kedatanganku, ia cepat-cepat meletakkan kembali cangkir yang ia genggam ke meja dan menoleh menatapku. "Oh, hey, Valerie. Tak apa, silahkan duduk."
"Apa kabar?" Tanyanya, basa-basi.
"Aku baik, kau?"
"Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Entahlah, aku masih merindukannya bahkan... Setiap malam aku memikirkannya."
Ya Tuhan. Aku mendesah pelan, menatap matanya dengan malas. Aku sudah yakin ia pasti akan membahas ini. "Dia sudah bahagia sekarang. Jadi, berhenti membahasnya." Ucapku.
"Hanya saja ak—"
Aku segera memotong ucapannya, "Hanya apa? Menyesal? Sudahlah, simpan semua rasa menyesalmu, itu sama sekali tidak berguna. Jangan pernah lupa atas kesalahan yang telah kau buat. Kau begitu pengecut saat itu, Yoon Jungkook." Makiku.
***
Jiya langsung menghampiriku yang baru masuk ke rumah sepulang kerja, "Daddy..." Ucapnya sebelum berhambur ke dalam pelukanku. Aku mengelus rambutnya dan mengecup puncak kepalanya.
"Hello, Princess." Jiya melepaskan pelukannya lalu menatapku sambil tersenyum. Dia begitu manja dan aku juga sangat memanjakannya. Jiya anakku satu-satunya, maka apapun akan ku lakukan untuk kebahagiannya. "Daddy mandi dulu, Jiya tunggu di meja makan lalu kita makan malam bersama." Titahku dan ia menganggukan kepalanya. Anak pintar.
Kakiku melangkah ke kamar. Kosong. Tak ada siapapun di dalam sini. Aku tertawa sumbang. Ada-ada saja kau Hwang Jimin. Siapa yang kau harapkan sekarang berada di kamarmu—menunggu kau pulang?
Terkadang aku merasa kesepian, walau ada keberadaan Jiya yang selalu membuat diriku bahagia dan terasa ramai. Namun aku tetap kesepian, aku pria normal, kau pasti tahu apa yang ku maksud. Aku perlu seseorang untuk menemaniku dan berada di sisiku saat aku senang ataupun sedih.
Tetapi hal itu bukanlah hal mudah layaknya membalikkan telapak tangan.
Tidak apa. Setidaknya aku memiliki Jiya dan pekerjaan setumpuk yang dapat mengalihkan rasa kesepian yang kadang kala menghampiri.
Mencari pasangan itu tidak sederhana. Aku harus mencari pasangan yang benar-benar tulus denganku, tidak hanya karena harta dan jabatan yang ku punya. Terlebih ia harus menerima keberadaan Jiya dan menyayanginya seperti anak kandung.
ku yakin semua akan indah pada waktunya.
Selesai membersihkan diri, aku menyusul Jiya yang sudah menungguku di dapur. Terlihat dari raut wajahnya, ia sangat gembira. Pasti ada sesuatu hal yang akan ia ceritakan malam ini.
Usai makan, Jiya dan aku masuk ke dalam kamarku. Ia ingin tidur denganku malam ini, katanya.
"Daddy, ternyata nama guru cantik yang Jiya katakan kemarin itu namanya Ibu Valerie." Syukurlah, akhirnya mereka bertemu juga. Jika tidak, Jiya akan terus penasaran dan dipenuhi pertanyaan.
"Benarkah?"
Jiya menganggukkan kepalanya. "Iya, Daddy. Tadi Ibu Valerie juga mengantar Jiya sampai mobil." Jawabnya antusias. "Ibu Guru sangat baik." Pujinya. Sepertinya Jiya mengidolakan gurunya sendiri.
"Daddy juga melihatnya saat di koridor sewaktu mengantar Jiya tadi pagi, tapi sayangnya Daddy tidak dapat melihat wajahnya." Ungkapku yang langsung disambut wajah murung Jiya.
"Yah, sayang sekali padahal wajahnya sangat cantik, Daddy!" Aku hanya terkekeh mendengar responnya sambil mengacak-acak rambutnya gemas. "Pasti keren jika Jiya mempunyai ibu seperti Ibu Valerie."
Aku menatapnya lekat-lekat "Jiya..." Panggilku dengan nada rendah. Ia hanya tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang kecil.
-Tbc-
Telah direvisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONNECTED [end]
أدب الهواة[BOOK I] [COMPLETED] Valerie Johnson, wanita kelahiran Indonesia yang berusaha hidup mandiri di negeri ginseng, yakni Korea Selatan. Beberapa tahun mengenyam pendidikan di salah satu universitas ternama disana membuatnya lupa dengan tanah kelahirann...