Saat Juna memasuki ruangan, ia bisa melihat asistennya masih termenung di depan layar iMac, memandangi sebuah bagan excel berwarna-warni dengan tampilan data bermacam-macam. Melihat gestur perempuan itu-yang masih bergeming-Juna bisa menebak kalau Hana tak menyadari kedatangannya.
Lelaki itu menghentikan langkahnya tak jauh dari pintu ruangan. Melarikan pandangan pada jendela kaca, langit di luar sana sudah menggelap. Tak ada warna semburat sore. Warna angkasa telah berubah kelam. Hari sudah berganti jadi malam.
Juna menengok ke belakang, pada meja-meja kerja tim lain di hall depan ruangannya. Hanya ada satu dua kepala yang terlihat-mungkin lembur. Menengok lagi meghadap punggung Hana, Juna mengerutkan alis. Kenapa perempuan ini belum pulang? Tak ada keinginan untuk menyapa asistennya itu, Juna bergerak maju, mendekati mejanya sendiri. Ketika saat langkah kaki lelaki itu melewati depan meja Hana, barulah perempuan itu sadar dan mendongak. Ditatapnya Juna beberapa detik-hingga akhirnya Juna menoleh membalas tatapan Hana.
Mulut Hana terbuka tipis. Tapi tak ada percakapan mengalir di antara keduanya.
Juna mengalihkan pandangannya, sibuk melepaskan safety shoes-nya.
Hana menarik napas dalam-dalam. "Pak?"
Juna berdeham.
"Tolong cek email. Saya sudah kirim laporan yang Bapak minta. Tinggal dua file lagi," terang Hana tenang. Perempuan itu melirik jam dinding yang terpasang di sisi tembok sebelah kiri ruangan. "Mungkin sekitar duapuluh menit lagi."
Kali ini Juna menoleh pada Hana.
Jadi itu alasan kenapa Hana belum pulang? Perempuan itu sudah menundukkan pandangannya, kembali terpaku pada laptopnya. Suara lirih jemari perempuan itu ketika memencet keyboard iMac masih samar terdengar.
Juna menghela napas. Sebentar lagi jam makan malam.
Tidak, ia tak akan mengajak perempuan ini makan di luar bersama dengannya dan Viant.
"Kerjakan sisanya besok. Pulanglah," perintah Juna pelan.
Suara gerak lincah jemari di atas keybaord terhenti. Beberapa detik, suasana dikuasai hening. Namun Hana berdeham ringan. "Kurang sedikit. Saya akan selesaikan."
Harus Juna akui, Hana menarik perhatiannya kali ini. Tapi lelaki itu tak berkomentar. Kalau dipikir, jika memang perempuan itu ingin terus bekerja samai malam pun, itu haknya.
"Apa jam segini orang Safety Departement ada yang masih di kantor?"
Hana mengangkat pandangannya lagi-menemukan Juna yang sibuk memasukan sepasang sepatu yang tadi dikenakannya ke dalam kotak kardusnya.
"Bapak mau mengembalikan APD?" dilihatnya Juna mengangguk. "Pak Juna tinggal saja di situ. Akan saya kembalikan besok pagi-pagi."
Tawaran Hana membuat Juna diam.
Lelaki itu menggumakan 'oke', lalu keluar dari ruangan.
****
Hana merasa pekerjaanya makin bertambah. Entah atasan barunya tu sedang menilai kecepatanya kinerjanya, atau memang banyak pekerjaan. Hana memang jarang pulang on time. Biasanya, ia akan tetap tinggal di kantor selama tigapuluh menit. Menghindari jam keluar pabrik lain yang kadang berbarengan-membuat jalan sedikit macet.
Tapi hampir seminggu ini, harus ia akui, jam pulangnya makin mundur. Juna sebenarnya pun tak pernah pulang tepat waktu. Biasanya, Juna tetap tinggal di kantor sekitar setengah hingga satu jam-terkadang beberapa kali Hana menemukan Viant menghampiri Juna, mengajak atasannya itu pulang atau keluar makan.
Pekerjaan yang begitu banyak juga memaksa Hana untuk memutar otak. Ia mulai jarang makan siang di pantry atau kantin belakang. Ia lebih sering meminta OB untuk mengantarkan makannaya ke ruangan. Hal itu membuat Rara uring-uringan-merasa kehilangan sahabatnya.
"Hari ini pulang telat lagi?"
Siang ini, Hana menyempatkan makan siang menemani Rara, menghindari omelan sahabatnya itu karena sering menolak ajakan makan siang bersama. "Kayanya begitu."
Rara menggeleng-gelengkan kepalanya prihatin. "Sampai ga ada waktu gitu, ya."
"Yang bisa kulakukan sekarang cuma berdoa semoga tiga bulan ini bisa segera berlalu. Kerjaanku banyak. Aku terus-terusan doa supaya aku ga stress." Hana tertawa getir. "Moga-moga weekend ini kau bisa istirahat total, deh. Sumpah. Butuh tidur."
"Kalau hari liburmu isinya cuma tidur dan cuci baju doang, gimana dapet hiburan?"
"Gampang tinggal buka laptop di rumah, nonton film."
"Maksudmu nonton ulang film macam Hunger Games, Avengers, dan Star Wars?" Rara memutar bola mata saat Hana tertawa mendengar sindiriannya. "Nonton di luar yuk, cari film romantis apa aja yang lagi tayang di bisokop.
"Hunger Games juga romantis, tau..."
"Aku cuma nonton film itu gara-gara ada Liam Hemsworth."
Hana mencibir pendapat sahabatnya. "Aku lebih suka karakter Peeta. Tokoh Gale itu ganteng aja, tapi ga bikin dada hangat," desah Hana. "Ganteng aja ga cukup, Ra. Punya hubungan dengan cowo ganteng itu makan hati. Rasanya... kapok."
Hana memasang senyum sebisanya. Perempuan itu menunduk, memainkan ujung sumpit di tangannya pada mie yang menjadi menu makan siangnya. Rara bukannya tidak tahu.
"Kamu masih mikirin Nathan, ya?"
Hana tahu ia tak bisa menyangkal.
"Jangan cari cowo ganteng," ungkap Hana sambil tersenyum lebar-meski Rara tahu betul itu senyum yang dipaksakan. "Kalau kamu gamau bersaing dengan banyak perempuan lain."
"..."
"Dan berakhir diselingkuhi."
****
Setidaknya ada sedikit petunjuk tentang Nathan
[Senin, 29 April 2019]
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect love
Fiksi Penggemar𝐟𝐭. 𝐤𝐢𝐦 𝐬𝐞𝐨𝐤𝐣𝐢𝐧 "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined owning."