41

145 16 11
                                    

Langit Bandung berawan. Warnanya cenderung biru terang dan tertutup oleh banyak gumpalan awan yang lebar. Jika Hana mendongak, matanua akan menemukan beberapa buah layangan beterbangan di antara sela-sela ranting pepohonan yang tinggi.

Hana bergeming. Matanya menekuri nama Nathan di hadapannya. Di atas makamnya---yang tanahnya ditumbuhi beberapa rumput liar---tergeletak sebuket bunga azalea. Pegawai toko bunga menjelaskan beberapa makna bunga. Dan ketika Hana mengatakan kalau ia akan mengunjungi makam kekasihnya, Hana mendapatkan bunga itu.

"Jaga dirimu baik-baik," jelas wankta di hadapannya. "Cocok dibawa ke makam seseorang yang penting untukmu. Itu semacam salam perpisahan."

Hana yang tampak begitu murung membawa serta setangkai bunga anyelir merah pekat yang tetapnia genggam---bonus dari toko bunga yang ia pilih sendiri. Hana menangkup wajahnya sendiri di depan makam.

"Jika Tuhan bisa mengambil apa yang tidak pernah kamu bayangkan, Tuhan juga bisa menggantinya dengan sesuatu yang tidak pernah kamu bayangkan pula," imbuh si pemilik toko bunga, sembari mencoba menerangkan tentang bunga yang Hana bawa.

"Aku tau itu. Tuhan memberikan sesuatu yang lebih daripada yang sudah Ia ambil."

Memang udah bukan Nathan, tapi Juna.

"Takdir membawa... kamu pergi sekaligus membawa dia datang. Dan dia sekarang... pergi." Suara lembut Hana bergetar, cukup lirih namun suasana makam yang sepi membuat angin menerbangkan suaranya ke sekitar, membuat Hana merasa mendengar suaranya bergema. "Kamu... tenanglah di sana, Nath. Maafkan dia. Maafkan aku. Maafkan... kami."

Hana mendesah pelan.

"Apa yang harus kulakukan sekarang? Rasanya sakit, sakit sekali."

Hana mengusap wajahnya yang basah, lalu bergerak mundur. Perempuan itu lelah. Ia ingin pulang.

Mungkin setelah ini, ia memang harus melupakan semuanya.

"Hana..."

Hana membatu seketika. Perempuan itu berbalik dan menemukan Juna di sana. Dada lelaki itu naik turun, seolah ia baru saja berlari begitu jauh. Hana terpaku. Sedang apa laki-laki itu di sini? Setelah pergi begitu saja, lalu mendadak muncul semudah itu di depannya. Hana mendadak kesal. Ia yang tadinya lelah dan belum sembuh dari flunya mendadak merasakan kekuatan di kakinya. Dengan cepat, Hana melangkah.

Perempuan itu melewati Juna begitu saja.

Nama Hana mengudara beberapa kali. Panggilan itu berasal dari Juna. Tapi Hana tak mengindahkannya. Perempuan itu mempercepat langkah. Ia tak ingin lagi mendengar ungkapan-ungkapan bahwa laki-laki itu merasa bersalah atau yang lainnya.

Angin membentur-bentur kulit wajah Hana ketika perempuan itu mulai setengah berlari. Jejak air mata mengering di pipinya.

Di turunan tangga batu, kaki Hana terselip.

"Hana!"

Lengan Juna menariknya, dan perempuan itu jatuh terduduk di ujung atas tangga. Juna buru-buru berjongkok di hadapan Hana.

"Kamu ga apa-apa?"

Hana menarik tangannya kuat-kuat. Ia mencoba berdiri dengan cepat. Namun mendadak Hana berjengit ketika ia merasakan nyeri di pergelangan kaki kanannha. Keseleo.

"Han---"

"Pergi!" teriak Hana kesal. "Kubilang pergi. Kamu memang ingin pergi, kan? Aku muak sama rasa bersalah kamu yang ga ada ujungnya itu!"

Ucapan Hana membuat mata Juna melebar.

"Untuk apa kamu ke Bandung lagi? Pergi!"

Juna menenangkan Hana dengan menarik perempuan itu ke dalam pelukannya. Namun Hana menggeliat, berontak dan berusaha melepaskan diri. Juna makin erat memeluk Hana. "Sorry, please."

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang