30

89 14 2
                                    

Sedikit getaran, seperti menahan diri, terdengar di sela-sela cerita lama yang dikisahkan Juna. Saat lelaki itu terpejam dan mencengkeram sisi rambutnya ketika mengakhiri apa yang ia ceritakan, Hana dengan sigap melompat turun dari sofa, melangkahi Juna yang terbaring bergeming di sana.

Perempuan itu berlari kecil ke dapur, mengambil sebuah gelas beninng dan mengisinya dengan air putih. Tak butuh waktu lama, ia sudah kembali ke ruang tengah, duduk di ujung sofa sembari ujung jarinya menarik-narik kain celana bagian bawah lutut Juna-meminta Juna membuka mata dan duduk.

Gelas yang tersodor itu membuat Juna bangkit dari tidurnya. Lelaki itu tersenyum pada Hana, mengisyaratkan terima kasih ketika tangannya menerima gelas berisi air minum. Ditenggaknya air itu hingga isinya tandas.

Hana meraih gelas kosong tersebut dan meletakkannya di atas meja. Bahu Hana naik turun seiring dengan beberapa helaan napas panjang yang meluncur dari bibirnya. Ia tak tahu ia harus berkomentar apa. Sepertinya kejadian masa lalu itu cukup berat untuk dibahas.

"Sekarang kamu paham, kan, pertanyaanmu tadi?" mendadak Juna bersuara. "Tentang kenapa aku begitu perhatian saat kamu kecelakaan..."

"Ya."

"Hari itu sama-sama malam, sama-sama hujan, dan kamu pun bawa motor. Aku ingat posisiku sendiri saat Viant ngomong kalau kamu kecelakaan malam itu."

Hana mengangguk-angguk. "Yang kamu bilang meninggal itu..."

"Laki-laki yang repot turun dari mobilnya untuk menghampiriku." Juna mencengkram rambutnya lagi. Kali ini, suara maskulin lelaki itu tak segoyah tadi. "Saat mobil lain itu melaju dan membanting stir ke setengah lajur tengah jalan, pengendaranya menyadari kalau ada aku yang tergeletak di dekat trotoar tengah. Panik dan kaget, sopirnya banting stir lagi ke kiri, tapi ga sempat menghindari laki-laki itu."

Hana membenahi duduknya, mendekat pada Juna. Lelaki itu tertunduk sambil menelan ludah.

"Mau minum lagi?"

Juna menggeleng. Lelaki itu memilih melingkarkan kedua tangannya untuk memeluk pinggang Hana lalu menyandarkan dagunya di atas kepala Hana. Hana tak banyak bergerak. Ia membiarkan punggungnya bersandar di dada Juna, membiarkan lelaki itu memeluknya sampai suara napas lelaki itu tenang. "Kalau saja dia ga turun dari mobilnya-"

"-Kamu nyalahin diri kamu?" Hana membiarkan pertanyaannya tak terjawab. "Ada kalanya saat sesuatu yang berjalan tidak sesuai dengan harapan manusia, seseorang harus menerima keadaan dan menamainya takdir."

"Aku masih ingat gimana saat keluarganya datang ke rumah sakit dan meraung-raung menangis. Banyak orang datang ke rumah sakit malam itu. Aku menemui banyak manusia, dan aku ketakutan sekali."

"Mereka menyalahkanmu?"

Hana merasakan kepala Juna menggeleng.

"Lalu?"

"Ada polisi dan saksi mata di rumah sakit. Pengemudi mobil yang satunya mengantuk dan penerangan di jalan terbilang kurang. Kejadian itu murni kecelakaan, tapi suara tangisan-tangisan yang aku dengan malam itu membuatku susah memaafkan diriku sendiri. Aku... butuh menyalahkan seseorang. Meski aku ingin menyalahkan pengendara motor lain yang keluar dari gang, juga sopir mobil box itu, tapi aku merasa ga cukup."

Hana melarikan jemarinya pada punggung tangan Juna, menangkupinya.

"Sepasang orang tua kehilangan anaknya. Ada saudara yang ikut kehilangan abangnya. Ada perempuan yang kehilangan kekasihnya."

Hana memiringkan kepalanya.

"Kamu tau apa yang paling miris?"

"Apa?"

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang