"Untuk ukuran perempuan, apartemenmu cukup berantakan."
Hana berjengit kaget ketika tetiba Juna sudah ada di belakangnya. Laki-laki itu melangkah tanpa jejak suara bak hantu. Di kantor juga begitu. Selalu saja tetiba muncul dan membuatnya kaget.
Hana tak mengacuhkan 'pujian' Juna. "Pak Juna sudah mau pulang?"
"Sepertinya begitu." Juna menjawabnya singkat. Lelaki itu memandang seluruh penjuru dapur. Sebuah water-heater menarik perhatiannya. "Kamu merebus air untuk apa?"
Tangan Hana meraba-raba isi sebuah lemari gantung tempat persediaan gula, kopi, dan sejenisnya. "Saya tadi mau membuat cokelat panas untuk Bapak." Hana mengulum bibirnya. 'Dan harusnya batal karena kamu mau pulang, kan?' batin Hana.
"Boleh juga."
Hana menggigit lidahnya sendiri. Juna melangkah maju, berdiri di samping Hana dan mengulurkan tangannya. "Kakimu masih sakit untuk berjinjit?"
Mau tak mau, Hana mengangguk.
Juna melongok ke dalam lemari. Ingin membuat apa ia tadi? Cokelat? Lelaki itu dengan mudah mengambilkan saset cokelat untuk Hana.
"Terima kasih." gumam Hana pelan.
"Kamu bisa membuatnya sendiri?"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Hanya minuman saset. Mudah." perempuan itu mempersiapkan sebuah mug putih kecil dengan corak bendera negara lain. "Kecuali kalau Pak Juna minta dibuatkan makan malam. Akan sedikit lebih ribet."
"Kamu bisa masak?"
"Bisa memasak itu syarat mutlak dari ibu saya sebelum mengizinkan saya hidup sendirian." Hana mengangkat bahu. "Tapi sepertinya, kalau adik Pak Juna bisa memasak pun, Pak Juna tidak mungkin membiarkannya hidup sendiri," ucap Hana-menyindir atasannya itu dengan senyum puas. Yang disindir pun hanya tersenyum simpul.
Hana melangkah pelan meraih water-heater di dekatnya.
"Di bawah, seberang apartemen, rasanya banyak orang berjualan makanan."
"Sate atau mie ayam," terang Hana. "Tapi kalau weekend, saya lebih senang belanja bahan masakan. Lalu di hari Minggu, saya masak untuk dimakan sampai Senin."
"Kamu makan sendiri?"
"Dengan siapa lagi?"
Juna mendekat ke kulkas. Lelaki itu berjongkok begitu pintu lemari es terbuka lebar. Hana tak berbohong. Ada ikan, daging beku, juga sayur-sayuran di bagian bawah kulkas. Melihat kondisinya, jelas syaur-sayur itu dibeli tidak lebih dari satu minggu yang lalu. Tanpa sadar, lelaki itu tersenyum.
"Kamu bisa masak apa? Masakkan sesuatu untukku."
Tangan Hana yang hampir menuangkan air panas ke dalam cangkir langsung berhenti bergerak. Tunggu, ia tak salah dengar, kan?
"Tadi aku berniat makan malam di luar dengan Viant. Karena aku mengantarkanmu pulang, kamu boleh mengganti jasaku dengan membuat makan malam."
Mata Hana melebar. Dipandanginya atasannya itu dengan tatapan tak percaya. Jasa apa? Hana tidak penah memaksa untuk diantar pulang!
Juna melipat lengan panjang kemejanya hingga di batas siku, lalu melirik jam tangannya. Belum terlalu malam. Tangannya kemudian memilah-milah beberapa bahan di dalam kulkas. Hana kehabisan kata-kata saat melihat Juna menoleh dari balik pintu kulkas dengan bawang, belimbing sayur, dan tomat segar di tangannya.
"Ayo... aku akan membantu menyiapkan bahannya."
Meski awalnya merasa sedikit keberatan, Hana pun akhirnya bisa bernapas lega karena ternyata atasannya itu banyak membantu. Lelaki itu menanak nasi-meski menggunakan rice cooker-dan menyiapkan bahan-bahan untuk dipotong.
"Dagingnya bagaimana?"
Hana mengangkat tutup panci. Asap harum dari uap masakan dalam panic akhirnya sampai ke penciuman Juna. Lelaki itu tersenyum, merasakan tremor di dasar perutnya. Ia lapar.
Suara 'klik' terdengar dari rice cooker di atas meja di dekat pintu dapur.
"Nasinya sudah matang." info Juna.
Hana meraih sebuah saucer dan menyendok sedikit kuah sayur. Perempuan itu lalu menyodorkan saucer keramik itu pada Juna-meminta lelaki itu mencicipinya.
"Bagaimana?" bukannya apa-apa, tapi mengharapkan pujian itu wajar, kan?
"Lumayan," jawab Juna enteng. Sensasi asam dan hangat dari sayur daging berkuah asam itu membuat Juna semakin lapar. Lelaki itu mendekat pada panic di atas kompor gas, menyendok isinya lebih banyak. ""Ehm. Enak," koreksi Juna. "Meski masih enak buatan mamaku, tapi ini enak."
Mendengarnya, Hana tak marah. Sambil menyiapkan piring, Hana tersenyum dan berpikir, Dasar, kalau rindu masakan rumah, kenapa tak pulang ke Jakarta saja tiap minggu? Restoran di kota ini juga banyak yang menyediakan menu rumahan.
Namun dalam seditik, alis Hana mengerut. "Pak, mama Pak Juna... masih ada?"
Lelaki itu terdiam membatu-tak menjawab pertanyaan Hana.
Suasana hening terpecah ketika ponsel Juna berbunyi.
Beberapa detik lamanya, Juna bergeming di tempat, mendengar suara telfon di seberang sana-entah siapa-dan menjawabnya singkat-singkat. Setelah memutus sambungan telfon, lelaki itu mengantongi lagi ponselnya dan kemudian meletakkan saucer di tangannya tak jauh dari kompor. Hana mengernyitkan alis.
"Sorry, aku harus pergi. Ada keperluan mendadak."
Lelaki itu berbalik, tersenyum tipis, lalu berjalan melewati Hana. Hana membuka mulutnya tanpa bisa mengatakan apa-apa, terpaku membeku.
Suara langkah Juna menjauh dari dapur membuat perasaan Hana kalut tanpa sebab. Ada sesuatu yang membuat dada perempuan itu sesak dan ingin melontorkan sebuah makian. Lelaki itu meminta dimasakkan sesuatu dan sekarang maah pergi?
Hana nyaris tidak bisa menahan umpatannya saat mendadak Juna berhenti seolah teringat sesuatu. Sambil menatap Hana yang masih mematung, ia berkata,
"Ngomong-ngomong, jawaban pertanyaanmu tadi... mamaku masih hidup."