18

84 15 0
                                    

Sabtu pagi, Julian mengajak Juna olahraga keliling kompleks⁠-jogging. Lama tak olahraga membuat Juna cepat lelah. Beberapa kali, sepupunya yang seorang dokter itu tertawa. Katanya berulang kali, Juna terlalu sering lembur, stres oleh pekerjaan dan melupakan pola hidup yang sehat. Mumpung weekend, Julian memaksanya ikut sarapan keluarga dan melakukan olahraga. Juna hanya menurut, sekalian berjanji kalau di Jakarta nanti, ia akan rajin ke gym seperti dulu.

Sekitar pukul sepuluh, Julian mengajak Juna belanja. Lelaki itu ingin membeli beberapa buah dan sayur untuk persediaan di kulkas. Awalnya Juna menolak. Namun, ia teringat sesuatu.

Kulkas Hana.

Jadilah kini keduanya berada di Transmart daerah Buahbatu⁠-atas permintaan Juna.

"Beneran, ga ikut balik ke rumah?" tanya Julian sambil menimang-nimang buah kiwi di tangannya. Lelaki itu menoleh ke belakang, memandang Juna yang berjalan menjauh, mendekati stan ikan-ikan segar.

Juna melambaikan tangannya tanpa menoleh⁠-memberi isyarat jawaban pada Julian.

Sepupunya itu akhirnya memutuskan untuk menghampiri Juna. "Mau ke Viant?"

"Bukan."

Julian menaikkan satu alisnya.

"Ngapain aku ke rumah Viant bawa-bawa sayuran sama ikan? Kami bukan sepasang gay yang lagi ngadain acara masak-masakan."

Julian mendesis. "Jawaban apa itu..."

Juna tertawa kecil.

"Berarti mendatangi cewe?"

Juna memandangi satu persatu ikan segar, mencari barangkali ada bandeng. Lelaki itu menyusuri lemari es tempat display ikan sambil melirik Juna. "Kamu nanya apa tadi?"

"Cewe?"

Juna mengangguk santai.

"Wah, kemajuan! Dapat cewe Bandung?" Julian melempar cengirannya.

"Apa-apaan mukamu itu, ekspresimu sekarang mirip sekali sama Viant. Hana bukan pacarku."

Julian mengangguk. "Oh, namanya Hana? Aku tadi hampir ngira kalau cewe itu Mika. Tapi karena inget kamu pernah cerita kalau kamu ga ada status sama Mika, aku ragu."

"Memang bukan Mika."

"Kenapa? Kalian masih berhubungan, kan?"

"Masih. Beberapa waktu lalu sempet ketemuan."

"Lalu?"

"Lalu?" Juna menoleh heran.

Julian menghela napas sambil membantu Juna memilik ikan segar. "Ini masih segar. Ada yang cabut duri ga, ya?"

"Hei, kamu tadi nanya apa?"

"Mika. Dulu dia sering mampir ke rumah atau ngehubungin ponselku. Nanyain kamu."

Juna menarik napas panjang.

"Kenapa ngehela napas gitu? Males ya, ngebahas Mika?"

Juna tertawa singkat⁠-miris sendiri. Selain Viant, Julian memang tahu perihal Mikaila. Dulu, Julian dan Viant adalah temannya main basket atau billiar selama masa kuliah. Juna pun memang senang menginap di rumah Julian, sebelum Juna dan keluarganya memutuskan pindah ke Jakarta.

"Jadi, sekarang aku tertarik sama nama cewe yang kamu sebut tadi. Siapa dia?"

"Asistenku."

"Wah, affair kantor, nih."

"Berhentilah menarik kesimpulan konyol begitu. Aku dan Hana ga punya hubungan spesial. Kami profesional."

Juna mengulum bibirnya. "Oke, aku percaya. Maksudku, kamu semangat sekali belanja, ngalah-ngalahin apa yang kubeli. Beli sayur, milih-milih ikan sampai segitunya. Kamu mau menuhin kulkas cewe itu?" sindir Julian sarkastik.

Juna tertawa singkat.

"Lagakmu kaya mau belanja buat istri sendiri. Gitu bilang profesional? Kamu kira aku sepayah itu ga bisa ngebaca ada sesuatu?" Julian balas tertawa.

****

Hana mengerjap. Mata perempuan itu berkedip-kedip. Alisnya berkerut dan ia berusaha mengangkat wajahnya⁠-menjauhkannya dari permukaan bantal empuk yang membuat perempuan itu merasa gravitasi ranjangnya itu sepuluk kali lipat gravitasi bumi. Hana menoleh ke sekitar. Tangan kanannya merapikan sebagian rambutnya yang acak-acakan menutupi sebagian wajahnya sekaligus memenuhi sisi bantal.

Hana menuap. Jam berapa sekarang?

Perempuan itu menggaruk kepalanya sembari berusaha bangkit. Ia mencoba menajamkan pendengarannya.

Pendengaran Hana tak salah. Ringtone Over the Horizon⁠-dari ponselnya⁠-berdering nyaring. Seseorang meneleponnya. Hana bangkit malas-malasan dari ranjang. Siapa yang hari Sabtu begini meneleponnya? Ia masih mengantuk. Semalam, ia tidur telat karena keliling Bandung bersama Rara⁠-hunting kuliner sekaligus nonton. Rara mengajaknya nonton sejak dulu, namun baru semalamlah akhirnya keduanya bisa keluar bersama.

Hana mencari-cari ponselnya. Seingatnya ia meletakkan ponselnya di saku jaket. Di mana jaketnya? Barang-barang di kamar Hana yang berantakan membuat perempuan itu bingung sendiri. Ah, persetan.

Ketika dering ponselnya tak lagi terdengar, Hana sudah bersiap melompat lagi ke atas ranjang. Namun belum sampai lututnya menyentuh sisi ranjang, suara bel apartemen terdengar nyaring.

"Duuuuhh!" perempuan itu mengucek wajahnya yang lelah. Ia bergerak pelan keluar kamar. Siapa yang mencarinya di hari libur begini? Biasanya yang datang ke apartemen adalah Rara, atau keluarga Hana. Tapi keluarganya tak mungkin datang tanpa pemberitahuan. Minimal dua hari sebelumnya. Hana membelai otot lehernya yang terasa kaku sembari melangkah santai. Mungkin Rara.

Hana membuka pintu apartemen sambil menguap. Apa yang tampak di depan Hana membuat perempuan itu melongo. Matanya yang masih mengantuk mendadak terbuka lebar. Hana mengerjap, mengira ia sedang mimpi dan belum benar-benar bangun. Tapi sosok tegap di depannya itu bergeming⁠-menunggu Hana bereaksi.

Beberapa detik berlalu, Hana mulai merasa sadar. Ia tidak sedang bermimpi.

"Pak Ju⁠-"

"⁠-Aku meneleponmu dari tadi. Kamu baru bangun?"

Mulut Hana terbuka tipis tapi tak ada kalimat yang keluar dari bibirnya. Juna datang! Kenapa? Kenapa tetiba lelaki itu muncul? Ini hari libur, kan? Hana tidak salah menghitung kalender, kan?

"Sampai kapan kamu akan membiarkan aku berdiri di depan pintu begini?"

Sampai kiamat! Hanya batinnya yang bisa berteriak.

"Han?" Juna mulai tak sabar.

"A-ah, saya boleh masuk sebentar saja? Saya perlu merapikan sesuatu di dalam." Hana tertawa kaku.

"Tidak perlu. Aku sudah terbiasa melihat apartemenmu yang berantakan."

Hana menelan ludah.

"Jadi, bisa aku masuk sekarang?"

****

[Selasa, 20 Agustus 2019]

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang